Sunday, July 29, 2012

Masalah Perbukuan di Indonesia; Kasus BSE

MASALAH PERBUKUAN DI INDONESIA:
STUDI KASUS KONTROVERSI BUKU SEKOLAH ELEKTORONIK



Latar Belakang:
Pada tanggal 20 Agustus 2008, Depdiknas meluncurkan program Situs Buku Sekolah Elektronik (BSE) atau E-Book yang mencakup sejumlah empat ratus tujuh (407) judul buku Buku-buku teks pelajaran ini telah dinilai kelayakan pakainya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008.
Buku-buku teks pelajaran yang telah dimiliki hak ciptanya oleh Depdiknas ini dapat digandakan, dicetak, difotokopi, dialihmediakan, dan/atau diperdagangkan oleh perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum dalam rangka menjamin akses dan harga buku yang terjangkau oleh masyarakat. Masyarakat dapat pula mengunduh (down load) langsung dari internet jika memiliki perangkat komputer yang tersambung dengan internet, serta menyimpan file buku teks pelajarann tersebut. Untuk penggandaan yang bersifat komersial, harga penjualannya harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melalui Program Masal Buku Murah ini, buku teks pelajaran lebih mudah diakses sehingga peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia maupun sekolah di luar negeri dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar yang bermutu dan terjangkau.
Tak urung, kebijakan pemerintah tersebut segera memicu kontroveri dan memunculkan kembali perdebatan yang sebetulnya sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum program ini diluncurkan. Langkah pemerintah menelurkan kebijakan Buku Sekolah ataupun Program Masal Buku Murah ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan permasalah perbukuan di Indonesia yang telah berlangsung selama ini. Karena itu, penulis mencoba meneropong permasalahan perbukuan di atas dalam rangka mencari titik temu yang lebih produktif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Dalam kerangka itulah, pada tulisan ini penulis mencoba mendiskusikan kembali dengan menggunakan paradigma evaluasi kebijakan yang berbasis pada model CIPP.
A. PERSEPKTIF BUKU SEKOLAH DAN PERBUKUAN DI INDONESIA

BUKU SEBAGAI SUMBER BELAJAR UTAMA
Tak dapat dipungkiri, buku merupakan sumber belajaŗ yang utama dan menjadi sarana penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Buku sekolah, khususnya buku pelajaran, merupakan media pembelajaran yang memiliki peran dominan di kelas dan menjadi bagian sentral dalam sistem pendidikan (Patrick (1988) dan Altbach (1991) dalam Supriyadi, 2000). Karena buku merupakan alat yang penting untuk menyampaikan materi kurikulum, maka buku sekolah menududuki peranan sentral pada semua jenjang pendidikan. Hasil penelitian Supriyadi (1997) yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif secara signifikan den hasil belajarnya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi akses siswa terhadap buku pelakaran, maka semakin tinggi pula hasil belajarnya. Oleh karena itu, setiap upaya untuk meningkatkan akses terhadap buku akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil studi tersebut sebetulnya konsisten dengan sinyalemen World Bank (1989) yang menegaskan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas sekola lainnya berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya.
Karena alasan tersebut di atas, maka pemerintah, sebagaimana juga banyak negara lain di dunia, melakukan investasi besar-besaran dan terkadang intervensi- untuk penyediaan buku sekolah. Hingga tahun 2000 tidak kurang dari US$ 355,2 juta telah dialokasikan untuk pengadaan buku SD dan SLTP untuk mencapai rasio 1 buku : 1 siswa.
Di Indonesia terdapat berbagai macam buku sekolah. Buku-buku sekolah tersebut dipergunakan baik sebagai buku pegangan utama siswa dan guru, sebagai suplemen, LKS (lembar kerja siswa), dan buku sumber. serta buku bacaan. Dilihat dari sasarang jenjang kependidikannya terdapat buku sekolah yang diperuntukkan bagi siswa SD, SLTP, dan SLTA. Sementara itu, pada masing-masing jenjang terdapat sejumlah mata pelajaran yang berbeda-beda. Di SD saja terdapat tidak kurang dari 10 mata pelajaran, yang dapat bertambah jumlahnya dengan mata pelajaran muatan lokal seperti bahasa daerah. Di tingkat SLTP dan jumlah mata pelajaran bertambah dengan dapat dipisahnya IPA dan IPS menjadi mata pelajaran yang lebih spesifik. Mengingatnya banyaknya macam buku sekolah, Supriyadi (2000) cenderung membagi buku-buku tersebut secara fungsional (berdasarkan fungsinya dalam pembelajaran) menjadi beberapa bentuk :
1. Buku Pelajaran atau Buku Teks
2. Buku Bacaan
3. Buku Sumber
4. Buku Pegangan Guru

Di SD buku bacaan untuk anak SD dibedakan dari buku sumber untuk guru dan siswa. DI SLTP dan SLTA buku bacaan dan buku sumber sering disebut buku perpustakaan. Buku teks terdiri atas buku teks pokok dan buku teks pelengkap. Buku teks pokok pada masa lalu dikenal juga sebagai buku paket. Sedangkan buku teks pelengkap biasanya biasanya berupa buku terbitan swasta yang dibeli oleh pemerintah ataupun sekolah untuk dipergunakan sebagai pelengkap buku paket. Pada masa lalu buku paket diedarkan secara cuma-cuma ke sekolah. Buku bacaan adalah buku yang dimaksudkan untuk mendorong minat baca siswa. Untuk SD, buku-buku itu sebagian besar disediakan oleh pemerintah melalui Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak SD. Buku sumber adalah buku-buku yang dijadikan referensi oleh guru maupun siswa, terdiri atas kamus, ensiklopedi, dan atlas/peta. Sebagian buku sumber juga diadakan oleh proyek pemerintah, dan sebagian lainnya disumbangkan oleh masyarakat. Buku pegangan guru adalah buku yang dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada guru dalam mengelola proses belajar mengajar.

PERMASALAHAN UMUM PERBUKUAN
Buku-buku sekolah di Indonesia yang meliputi buku pelajaran, buku bacaan, dan buku sumber menguasai sekitar 65 % pangsa pasar buku di Indonesia. Populasi yang dilayaninya mencapai lebih dari 44,8 juta siwa dan lebih dari 2,6 guru seluruh jenjang Negeri dan Swasta (Data Depdiknas, 2004). Setiap tahunnya ratusan milyar rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pengadaan buku. Tentunya, dana yang dibelanjakan oleh orang tua siswa untuk membeli buku-buku pelajaran tidak kalah besarnya dengan anggaran pemerintah. Dengan potensi pasar perbukuan yang sedemikian besar secara keseluruhan tentunya juga menyimpan potensi permasalahan yang tidak sederhana.
Secara keseluruhan permasalahan perbukuan di Indonesia tergolong sangat kompleks, kompleks karena melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat, mulai dari kalangan penerbit, penulis buku, distributor buku, guru dan birokrasi sekolah, pemerintah daerah dan pusat, serta kalangan lain yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan masalah perbukuan di Indonesia. Peluncuran buku sekolah elektronik menambah stakeholder baru dalam perbukuan, yaitu bisnis informatika. Cakupan permasalahannya pun menjadi tidak sesederhana yang dibayangkan, karena meliputi aspek produksi, kualitas isi, sistem pengadaan dan distribusi, sistem penilaian buku, tingkat perekonomian masyarakat, daya beli buku, eksistensi penulis buku, regulasi pemerintah berkaitan dengan bahan baku kertas, dan lain sebagainya. Kompleksitas permasalahan perbukuan tersebut diperparah lagi oleh banyaknya benturan kepentingan antara berbagai stakeholders perbukuan.
Namun demikian, dalam tulisan yang serba singkat, penulis membatasi beberapa permasalahan umum yang oleh penulis dianggap penting bagi pemenuhan kebutuhan buku sekolah. Tentunya, tulisan ini tidak berpretensi untuk menihilkan aspek permasalahan lainnya. Setidaknya, permasalahanan tersebut dapat dikategorikan pada beberapa permasalahan berikut:
1. Kualitas Buku Sekolah
2. Distribusi buku
3. Daya beli masyarakat terhadap buku sekolah
4. Masa pemakaian buku sekolah

1. Kualitas Buku Sekolah
Buku-buku sekolah di Indonesia sangat beragam jenis dan kualitasnya. Permasalahan kualitas buku tentu saja bukan permasalahan yang sederhana, karena berkaitan dengan kualitas penulisan buku, sistem penilaian buku, dan berbagai regulasi lainnya. Kualitas buku berkaitan dengan kualitas fisik yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor produksi, dan kualitas isi buku yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Berkaitan dengan kualitas buku sekolah yang sangat bervariasi tentunya menjadi persoalan tersendiri. Berkaitan dengan pengadaan, persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menyediakan buku-buku sekolah yang berkualitas dalam jumlah yang besar untuk semua atau sebagian besar siswa, sehingga penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, yang tercermin pada prestasi belajarnya, dapat meningkat. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas buku sekolah namun masih terdapat beberapa beberapa kelemahan yang terkait dengan kualitas isi buku sekolah.
Sinyalemen Utomo Dananjaya (Nopember 2008) yang melaporkan hasil penelitian tentang kualitas buku sekolah menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang menyangkut aspek pedagogis dari materi isi buku sekolah, dan bahkan ditemukan pula adanya konten materi yang dapat dikatakan tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Kualitas isi buku juga secara tidak langsung berkaitan dengan remunerasi terhadap penulis, sistem rabat yang menjadi acuan penerbit, regulasi harga bahan baku kertas, dan lain sebagainya.
2. Distribusi buku sekolah memiliki rantai distribusi yang cukup pelik karena melibatkan penerbit, distributor buku, toko buku, guru dan sekolah, serta pemerintah pusat dan daerah. Seringkali terjadi konflik antara berbagai kalangan tersebut. Selama ini buku-buku sekolah diperoleh siswa melalui berbagai cara. Sekolah dan pemerintah turut terlibat mempengaruhi distribusi buku mulai dari sistem penilaian buku, pemberian rekomendasi buku layak pakai, dan penjualan buku di sekolah baik melalui sekolah, guru, maupun koperasi sekolah. Penerbit sendiri, di samping memiliki jaringan sampai ke sekolah juga memiliki jaringan distribusi dengan kalangan distributor dan toko buku. Tak kalah pentingnya, maraknya pembajakan terhadap buku-buku sekolah yang banyak beredar.
3. Daya beli masyarakat terhadap buku sekolah menyangkut kondisi perekonomian orang tua siswa dan harga buku yang dipengaruhi oleh faktor produksi dan distibusi. Tentunya, juga terdapat perbedaan daya beli masyarakat pedesaan dan perkotaan. Siswa SD/MI di pedesaan, daerah terpencil dan di sekolah swasta memiliki akses yang paling rendah terhadap buku pelajaran, termasuk buku paket yang disediakan oleh pemerintah. Orang tua siswa menanggung beban yang tidak ringan untuk membeli buku pelajaran bagi anak-anaknya. Sebagian orang tua membeli buku secara sukarela sebagai wujud tanggung jawab terhadap anaknya. Sebagian lainnya membeli buku secara terpaksa karena keterbatasan kondisi ekonomi. Menurut hasil penelitian Supriyadi (2000) diperoleh data bahwa bagi keluarga berpenghasilan rendah, biaya pembelian buku, LKS dan alat tulis selama satu catur wulan mencapai 30-35 % dari total pendapatan keluarga per bulan. Sedangkan bagi keluarga mampu hanya 15-15 %. Bagi keluarga di pedesaan, pembelian buku pelajaran merupakan beban terbesar yang harus mereka tanggung, Sementara di perkotaan, alokasi pembelian buku pelajaran masih lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan untuk pembelian alat tulis. Hal ini menyiratkan lemahnya daya beli buku pelajaran siswa di pedesaan.
4. Masa Pakai buku sekolah selama ini cenderung tidak dapat didefinitifkan secara pasti. Seringkali buku pelajaran yang telah digunakan tidak dapat diwariskan pada siswa lainnya. Terlebih dengan sinyalemen di masyrakat “ganti tahun ganti buku”. Terdapat indikasi kuat bahwa aspek ini dipengaruhi juga oleh konflik kepentingan penjualan buku di sekolah.

Perkembangan Kebijakan Perbukuan di Indonesia
Penuntasan wajib belajar mutlak membutuhkan ketersediaan buku pelajaran yang berkualitas. Kenyataannya, pemerintah sendiri tak mampu melaksanakan tanggungjawabnya. Setidaknya hal tersebut bisa terlihat dari dari kebijakan perbukuan termasuk dukungan pembiayaannya. Selama ini kebijakan buku pelajaran sangat dipengaruhi oleh dimensi politik dan ekonomi. Pada era orde baru, pemenuhan buku pelajaran ditanggung pemerintah dan berlaku turun temurun, namun hal itu dilakukan karena adanya kepentingan hegemoni dan indoktrinasi pemerintah terhadap masyarakat. Pengadaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah bekerjasama dengan Balai Pustaka.

Tabel. Kebijakan Perbukuan di Indonesia

Pola pengelolaan buku berganti memasuki tahun 90-an, monopoli Balai Pustaka dihapus dan tata niaga buku diserahkan kepada mekanisme pasar untuk mendorong adanya kompetisi yang adil bagi para penerbit melalui tender. Sumber pendanaan dilakukan pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia. Model kebijakan yang berjalan hingga awal otonomi daerah terjadi di indonesia sangat berdampak pada beban biaya yang ditanggung orang tua siswa, karena buku pelajaran sering berganti dan tidak bisa digunakan secara turun temurun.
Pada era ini berbagai masalah penyimpangan mulai banyak terjadi, mulai dari praktek penyuapan penerbit kepada pemerintah, pembelian kertas yang diarahkan kepada perusahaan tertentu hingga maraknya jual beli buku di sekolah. Belakangan ketika informasi tentang berbagai penyimpangan semakin menjadi konsumsi publik, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2005 tentang larangan praktek jual beli buku di sekolah sekaligus menetapkan buku berstandarisasi nasional yang dapat berlaku selama lima tahun. Untuk mendukung regulasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan BOS khusus buku dengan pendanaan sebesar 900 miliar. Dana ini akan digunakan untuk pembelian buku yang dibagikan secara gratis kepada sekitar 40 juta siswa dengan asumsi nilai buku sebesar Rp. 22.000,00/ siswa. Sayangnya, ketika kebijakan ini belum maksimal dilaksanakan, terjadi krisis minyak yang menyebabkan harga minyak dunia melambung tinggi. Pemerintah yang panik akibat terkena dampak krisis kemudian melakukan pengetatan APBN, semua anggaran departemen termasuk Depdiknas dikurangi. Kondisi inilah yang diperkirakan menjadi asal muasal lahirnya kebijakan buku elektronik, indikasinya jelas subsidi BOS buku berkurang dari Rp. 22.000,-/siswa menjadi Rp. 11.000,/ siswa. Seperti diketahui, Pemerintah baru saja mengeluarkan Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang buku. Melalui permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta dari penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Depdiknas. Setidaknya Depdiknas mengalokasikan dana sebesar 20 miliar untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.

B. STUDI KASUS BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK

KOMENTAR DARI BERBAGAI KALANGAN
Sepanjang kontroversi pengadaan buku sekolah elektronik, banyak komentar dan pandangan yang disampaikan oleh berbagai kalangan, mulai dari pemangku kebijakan, praktisi perbukuan, politisi, para pemerhati pendidikan, kalangan penerbit, konsumen pemakai buku, dan lain sebagainya. Tentu saja, komentar dan pandangan tersebut sangat bervariasi dan memiliki sisi pandang yang berbeda-beda. Untuk itu, kita perlu mendudukan berbagai pandangan tersebut secara proporsional. Berbagai pandangan tersebut akan coba dianalisis secara sederhana untuk menemukan akar persoalan secara mendasar. Berikut ini adalah berbagai pandangan tersebut.

1. Pandangan Mendiknas Bambang Sudibyo:
(Suara Karya, 29/8/2008)
”Program BSE (buku sekolah elektronik) itu tidak ada. Itu hanya nama website Depdiknas yang isinya buku-buku pelajaran yang hak ciptanya sudah dibeli pemerintah. Namun yang terjadi, pemerintah dikonyol-konyolkan karena banyak sekolah yang belum punya listrik tapi pemerintah sudah buat program BSE. Sekali lagi saya tegaskan, BSE itu program buku murah. Maksud utama pembuatan website itu bukan untuk murid, tapi perusahaan agar mencetak dan menjual buku dengan harga sepertiga dari harga buku teks di pasaran,” katanya.
Menurut dia, saat ini sudah ada perusahaan yang hendak mencetak BSE dengan harga jual seperti ditetapkan pemerintah. Harga yang ditetapkan pemerintah diperhitungkan tetap mampu memberi keuntungan bagi perusahaan yang bersedia mencetaknya. Harga itu mencakup biaya produksi, biaya distribusi, dan margin keuntungan 15 persen.
”Harga jualnya sekitar sepertiga dari harga buku teks di pasaran. Harga buku ini diharapkan tidak lagi membebani masyarakat. Buku itu bisa didapat di toko- toko buku, bukan dibeli di guru atau sekolah,” kata Mendiknas

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Penentu Kebijakan
Cakupan permasalahan: Pro kualitas buku, Pro distribusi, Pro daya beli masyarakat

2. Arief Rahman, 21/8/2008
(http://www.surya.co.id/web/Pendidikan/Polemik-Seputar-Buku-Sekolah-Elektronik-Ketar-Ketir-Jelang-UTS.html
Mengenai buku sekolah elektronik (BSE), Arief menilai perlu ada proses penyesuaian. Lebih baik tidak bereaksi menolak, namun lebih antisipatif. Permendiknas 2/2008 tentang BSE memang baik bagi sebagian orang. Tapi, belum untuk seluruh rakyat Indonesia.
BSE perlu waktu download dan tepat untuk daerah yang sudah disaluri listrik dan dilengkapi teknologi informasi dan komunikasi. Baru kemudian daerah-daerah minim mengikutinya. Sebelum itu terwujud, pelaksana pendidikan di daerah minim itu harus berkreasi dalam PBM.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati pendidikan
Cakupan permasalahan: Pro kualitas buku, netral distribusi, netral daya beli

3. Aria Bima, Anggota DPR (18/8/2008)
Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang membeli hak cipta buku pelajaran dan melarang penjualan langsung buku pelajaran oleh penerbit ke sekolah serta meminta masyarakat atau pihak sekolah mengunduh buku elektronik yang telah dibeli hak ciptanya dari internet, sangat bersifat bias kota.
Artinya, kebijakan ini cenderung hanya realistis bagi masyarakat kota. "Itupun kelas menengah ke atas, yang sudah terbiasa mengakses dunia maya. Sedangkan bagi siswa, sekolah, atau guru miskin di pedesaan atau kota-kota kecil, kebijakan tersebut sangat menyulitkan, lantaran peranti komputer atau internet belum dapat mereka akses," katanya.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Politisi
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli

4. Iskandar Agung, Puslitjaknov Depdiknas:
(Suara Karya, 10/9/2008)
Pelaksanaan program e-book atau buku sekolah elektronik (BSE) harus ditunda dan tidak bisa dipaksakan. Karena, secara teknis, program ini belum siap dilaksanakan dan kebijakan ini membuat kepala sekolah pada posisi dilematis. Jika program ini terus dipaksakan untuk dilaksanakan, yang menjadi korban nantinya adalah orangtua murid, siswa, dan juga sekolah. Program BSE yang awalnya untuk menciptakan buku sekolah yang murah dan memiliki umur pakai hingga lima tahun itu pada kenyataannya justru buku itu menjadi lebih mahal karena belum tersedia secara luas dan umur pakainya juga lebih pendek, hanya berkisar dua tahun.
Untuk men-download (mengunduh) buku, diperlukan perangkat komputer dan internet. Kondisi ini belum termasuk mencetak atau menge-print buku yang akan diunduh, selanjutnya hasil printing tadi diperbanyak untuk siswa. Pada akhirnya, nilai ekonomis BSE itu justru lebih mahal dibandingkan dengan harga buku sebelumnya.
Demikian pernyataan yang terlontar dalam Seminar Pendidikan Nasional dalam rangka Hari Pendidikan Nasional di Jakarta beberapa hari lalu.
Menurut Iskandar Agung dari Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Depdiknas, yang menjadi salah satu pembicara dengan topik upaya pendistribusian buku murah, kenyataan itu tidak terbantahkan.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati pendidikan
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli, kontra masa pakai

5. ICW (Indonesian Corruption Watch):
Kebijakan buku sekolah elektronik (BSE) ini bisa dikatakan sebagai langkah mundur karena mengarah pada privatisasi pendidikan. Satu sisi, Penggunaan jaringan internet agar masyarakat dapat mengunduh secara gratis merupakan langkah maju. Tetapi disisi lain pemerintah tidak menyiapkan kapasitas sumber daya manusia maupun infrastruktur jaringan internet diseluruh indonesia.
Berdasarkan hasil investigasi Kelompok Independen Untuk Advokasi Buku (Kitab) di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bekasi dan Depok menemukan jika banyak kepala sekolah yang belum paham tentang buku elektonik. Bahkan Fitri Sunarto berani menjamin kalau sampai saat ini belum ada satu pun sekolah dasar yang menggunakan buku sekolah elektronik.
Artinya BSE sepertinya hanya merupakan pensiasatan pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab pendanaan disektor perbukuan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena pendidikan akan semakin sulit dijangkau oleh semua lapisan masyarakat dan tentunya kontraproduktif dengan kebijakan penuntasan wajib belajar tahun 2009.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati/LSM
Cakupan permasalahan: netral distribusi, kontra daya beli

6. Setia Dharma, Ketua Umum IKAPI:
Harga kertas dan pajak masih menjadi alasan penerbit terkait sulitnya menekan harga buku, terutama buku pelajaran sekolah. Penerbit berharap, pemerintah menyubsidi harga buku guna memperluas akses terhadap buku pelajaran, selain membuat buku digital.
Hal itu dikemukakan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid, Selasa (15/7). Seperti diberitakan sebelumnya, orangtua kembali dibebani biaya buku pelajaran begitu memasuki tahun ajaran baru. Sebagai gambaran, di Jakarta, orangtua mengeluarkan dana sekitar Rp 200.000 hingga Rp 1.000.000 untuk buku pelajaran satu semester. Buku digital program Departemen Pendidikan Nasional belum disosialisasikan, apalagi dimanfaatkan oleh masyarakat.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: aspek produksi, regulasi

7. Cyprianus Aoer, Anggota DPR:
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI-P, Cyprianus Aoer, mengatakan, kebijakan buku sekolah elektronik mencerminkan ketidakadilan. ”Seolah-olah semua pendidikan seperti di Jakarta. Itu mengabaikan apa yang disebut pemerataan dan keadilan. Warga di daerah pedalaman tidak bisa mengakses internet,” ujar Cyprianus.
Pengguna internet di Indonesia saat baru sekitar 18 juta orang atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk. Adapun dari 72.000 desa di Indonesia, masih terdapat 38.000 desa yang belum tersambung dengan perangkat komunikasi dan informasi.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Politisi
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli

8. Firdaus Oemar, Ketua Pusat Buku Indonesia (12/11/2008)
(Kompas, 12/11/2008)
"Penjualan Buku murah ke daerah masih terkendala distribusi. Biaya distribusi untuk daerah di luar Pulau Jawa sangat tinggi, sehingga HET yang ditetapkan Depdiknas sulit dipenuhi.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

9. M. Muhadjir, Pelaksana Kepala Pusbuk (12/11/2008)
(Kompas, 12/11/2008)
Untuk menekan biaya distribusi, tidak selayaknya buku dicetak seluruhnya di pulau Jawa. Mestinya buku tersebut dicetak di luar pulau Jawa dengan dukungan pemerintah kabupaten/kota.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku kebijakan
Cakupan permasalahan: netral distibusi

10. Gatot Wahyudi, IKAPI Jateng (15/72008)
(Sinar Harapan, 16/11/7/2008; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/15/sh08.html
Regulasi Menteri Pendidikan Nasional tentang buku elektronik yang dapat diakses melalui internet akan mengancam kelangsungan penerbit dan pada gilirannya juga akan mengancam ribuan buruh di sektor ini. Sekitar 70 perusahaan penerbit yang ada di wilayah kerja Ikatan Penerbit IKAPI Jawa Tengah telah beberapa bulan terakhir menghentikan produksi buku pelajaran sekolah, kata Gatot Wahyudi, Ketua Kompartemen Buku Pelajaran dan Umum IKAPI Jawa Tengah, kepada wartawan di Solo, Selasa (15/7)
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: aspek ekonomi dan tenaga kerja

11. Doni Irfan, Wakil Ketua IKAPI Sumut
(Waspada Online, 7/8/2008)
“..Pemerintah perlu menerapkan regulasi soal pencetakan dan penggandaan BSE untuk menghindari terjadinya monopoli perusahaan penerbit dari percetakan dari Pulau Jawa.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Penerbit
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

12. Kadarisman, SE, M.Pd, Ka SubBid Data Perbukuan Pusbuk Depdiknas :
(Waspada Online, 7/8/2008)
“..buku sekolah elektronik (BSE) akan lebih murah harganya kalau dicetak secara massal. Karena itu dia menganjurkan agar proses pencetakan BSE dapat mengikutsertakan penerbit lokal. BSE memang bisa di-download oleh siapa saja tanpa perlu meminta izin. Namun harganya akan lebih murah kalau dapat dicetak sekaligus karena biaya produksinya lebih murah, katanya dalam Rapat Koordinasi Peningkatan Pemanfaatan Buku Pendidikan Dalam Rangka Sosialisasi BSE di Medan, Selasa (5/8)
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku Kebijakan
Cakupan permasalahan: pro distribusi, pro daya beli

13. Wildan, Siswa SMP Negeri di Jakarta
( http://www.hupelita.com/baca.php?id=53669)
Penyediaan buku elektronik yang disiapkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk siswa SD/SMP, SMA dan SMK belum bisa diakses secara maksimal.
Belum bisa, terkadang sulit, ujar Wildan, siswa SMP Negeri di Jakarta, kemarin.
Ia mengaku gembira dengan menyediaan buku pelajaran yang bisa diakses melalui internet atau istilahnya buku elektronik, namun faktanya justru masih sulit diakses siswa.
Karena itu, saya berharap agar Depdiknas memberikan jalan keluar terhadap persoalan ini, ujarnya.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Siswa (konsumen buku)
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

14. Saefullah, Waka Dinas Dikdas Prov DKI Jakarta
( http://www.hupelita.com/baca.php?id=53669)
“...Karena banyaknya minat yang mengakses sehingga terkadang ditemui kendala, ujarnya. Menurut dia, mengingat tingginya minat masyarakat dalam mengakses website tersebut sehingga mengalami hambatan. Dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat yang cepat dan tepat serta baru dibidang pendidikan, Dinas Dikdas telah melakukan upload buku elektronik tersebut dan dapat dilihat pada website Dinas Pendidikan Dasar melalui www.dinasdikdasdki.go.id .

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku Kebijakan
Cakupan permasalahan: pro distribusi

Analisis Terhadap Respons & Komentar terhadap BSE:
Untuk melakukan analisis lebih mendalam terhadap kontroversi BSE, penulis mencoba memetakan berbagai pandangan sebagaimana telah diungkapkan diatas dalam bentuk matris masalah berikut:
NO Status Cakupan komentar Keterangan
1 Penentu Kebijakan Pro kualitas buku, Pro distribusi, Pro daya beli
2 Pemerhati Pro kualitas buku, netral distribusi, netral daya beli
3 Politis Kontra distribusi, kontra daya beli
4 Pemerhati Kontra distribusi, kontra daya beli, kontra masa pakai
5 Pemerhati LSM netral distribusi, kontra daya beli
6 Penerbit aspek regulasi, aspek produksi di luar batasan masalah
7 Politisi Kontra distribusi, kontra daya beli
8 Penerbit Kontra distribusi
9 Pemangku Kebijakan Netral distribusi
10 Penerbit aspek ekonomi, tenaga kerja di luar batasan cakupan masalah
11 Penerbit Kontra distribusi
12 Pemangku kebijakan Pro distribusi, pro daya beli
13 Siswa Kontra distribusi
14 Pemangku Kebijakan Pro distribusi

Lebih lanjut, berbagai pandangan tersebut dicoba dianalisis dengan bantuan matriks respon berikut yang dikelompokkan berdasarkan respon positif atau negatif terhadap salah satu komponen CIPP (Context, Input, Process, Product). Dalam hal ini penulis mencoba membatasi, yang dimaksud konteks dalam studi kasus ini adalah mencakup kondisi masyarakat, kondisi sekolah, perkembangan teknologi, dan lain sebagainya. Sementara yang dimaksud Input distribusi dan sosialisasi BSE. Adapun yang dimaksud proses adalah yang menyangkut informasi pelaksanaan BSE meliputi kekuatan dan kelemahan implementasi BSE. Sedangkan produk mencakup jumlah dan kualitas BSE. Berdasarkan batasan sementara ini, penulis mencoba memetakan berbagai pandangan tersebut di atas.

Matriks Analisis CIPP:
Context Input Process Product
Penentu Kebijakan + + + +
Pemerhati +- +- +-
Politis - - -
Pemerhati - - -
Pemerhati LSM - +- +-
Penerbit -
Politisi - - -
Penerbit -
Pemangku Kebijakan + - +
Penerbit - -
Penerbit - -
Pemangku kebijakan + +
Siswa + -
Pemangku Kebijakan + + +

Berdasarkan matriks CIPP di atas, terlihat keragaman pandangan para narasumber, dan sekaligus belum komprehensifnya berbagai pandangan tersebut.

Berdasarkan kedua matriks analisis di atas, terlihat bahwa berbagai pandangan yang dilontarkan oleh masing-masing pihak memiliki sisi pandang yang berbeda menyangkut cakupan permasalahan ataupun komponen program (konteks, input, proses dan produk). Hal ini dapat dimengerti karena pandangan-pandangan tersebut bersumber dari kutipan media massa yang seringkali meminta komentar secara parsial, dalam momen yang spesifik, dan memiliki tendensi publisitas. Terlebih, para komentator memiliki posisi dan status yang berbeda, sehingga dapat dipahami memiliki kepentingan yang juga tidak seragam. Untuk itu, analisis lebih lanjut tentang permasalahan ini sesungguhnya memerlukan pandangan yang lebih komprehensif dari masing-masing pihak. Namun demikian, dalam studi kasus ini penulis mencoba membatasi pada konteks permasalahan yang dan sumber sebagaimana telah dikutipkan di atas.
Pada dasarnya, BSE merupakan respons pemerintah terhadap perkembangan permasalahan perbukuan yang ada selama ini. Terlihat dari tabel analisis permasalahan di atas, respons Mendiknas mencerminkan pandangan yang lebih komprehensif, dan memang sudah seharusnya demikian, mencakup 3 permasalahan umum yang telah dibahas sebelumnya, yaitu mencakup kualitas buku, distribusi, daya beli. Sesungguhnya, meskipun tidak terungkap secara eksplisit pada komentar Mendiknas di atas, kebijakan BSE juga merupakan respons terhadap masalah keempat, yaitu masa pakai. Berkaitan dengan aspek kualitas buku, hal ini tercermin dari perbaikan terhadap sistem penilaian buku yang melibatkan BSNP, yang pada akhirnya ditunjukkan dengan mengeluarkan beberapa Permendiknas berisi buku-buku yang layak pakai dan dibeli hak ciptanya oleh pemerintah. Secara langsung, hal juga menguntungkan penulis buku yang biasanya dari kalangan guru, namun sedikit merepotkan kalangan, karena mengganggu jalur distribusi dan aspek distribusi buku sekolah yang berlangsung selama ini. Di samping itu, dengan mengeluarkan regulasi tentang pemakaian buku layak pakai, akan mendorong peningkatan kualitas isi buku sekolah. Tentu saja, hal ini tidak mudah dicapai dalam waktu singkat. Dalam hal ini, sesungguhnya pemerintah juga perlu mewaspadai sistem penilaian perbukuan yang telah berlangsung. Meskipun telah diupayakan perbaikan sistem dan mekanisme, namun dengan banyak jumlah dan jenis yang harus dinilai keyakannya, membuka peluang lemahnya jaminan mutu terhadap kualitas buku. Hal ini dapat disebabkan diantaranya oleh pola rekrutmen tim penilai buku, yang karena dibutuhkan dalam jumlah banyak, maka terjadi pelonggaran kriteria penilai buku, yang pada akhirnya juga dapat menyebabkan lemahnya penilaian buku itu sendiri.
Meningkatnya peran teknologi informasi dalam perbukuan, sesungguhnya merupakan keniscayaan yang cepat atau lambat harus terjadi. Sinyalemen tentang pentingnya buku elektronik sesungguhnya telah lama digaungkan. Tak kurang, pengamat dan akademisi semisal Onno W Purbo ataupun HAR Tilaar (2001) menegaskan pentingnya e-book sebagai bagian dari konsekuensi perkembangan teknologi. Dalam tulisannya berjudul Buku dalam Eera Maya Cyber Era), Tilaar menyarankan intervensi pemerintah untuk menggalakkan gerakan buku murah, dan pemasyarakatan buku elektronik. Hal ini akan mendorong lahirnya generasi baru (Next generation/N-gen) yang lebih kreatif dan interaktif. Secara khusus, hal ini juga akan mendorong para pendidikan untuk lebih terampil dalam penguasaan teknologi informasi.
Di sisi lain, terlihat pemerintah berupaya membangun mekanisme pengadaan dan pola distribusi yang baru, dengan memasukkan aspek bisnis informatik sebagai stakeholder baru dalam industri perbukuan. Dalam pandangan pemerintah, keterlibatan teknik informatika dalam dunia perbukuan akan dapat membantu masalah produksi maupun juga distribusi buku. Intervensi pemerintah dalam hal ini, meskipun intervensi bukan hal yang asing dan memang dibutuhkan, akan menciptakan relasi baru dalam mekanisme hubungan antar stakeholder perbukuan. Begitu pula akan mendorong keseimbangan baru antara berbagai penerbit yang selama ini terlihat ada kesenjangan antar penerbit besar dan kecil.
Dalam hal distribusi maupun daya beli, terdapat perbedaan cara pandang antara pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan kalangan penerbit ataupun politisi. Perbedaan tersebut nampaknya terdapat pada penempatan BSE sebagai fungsi distribus buku. Pemerintah memandang BSE sebagai katalis, dan produk sementara yang akan mendorong harga buku yang lebih murah, dan pada akhirnya akan lebih mudah pula didistribusikan. Sementara kalangan politisi dan penerbit memandang BSE sebagai produk akhir distribusi. Perbedaan tersebut juga muncul dari perbedaan cara pandang terhadap perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Dengan dukungan proram Depdiknas yang lain, yaitu pengadaan komputer dan jaringan internet di sekolah, maka program BSE menjadi menemukan relevansinya. Sementara kalangan politisi lebih memandang situasi riil saat ini di pelosok negeri yang masih tertinggal secara ekonomi maupun teknologi.
Berbagai pandangan yang dikonotasikan negatif ataupun kontra terhadap BSE dapat diposisikan sebagai kritik membangun yang diperlukan untuk menyempurnakan upaya mengatasi masalah perbukuan, terutama buku sekolah di Indonesia. Begitu pula, kebijakan BSE tidak dapat dapat berdiri sendiri, tapi harus diikuti oleh kebijakan lainnya yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan BSE. Kebijakan yang langsung berkaitan dengan BSE misalnya adalah peningkatan kualitas sistem penilaian buku, pengadaan jaringan komputer dan internet di sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang tidak berhubungan langsung dengan BSE misalnya regulasi tata niaga buku dan subsidi harga bahan baku kertas. Dalam hal ini, konsistensi pemerintah terhadap seluruh kebijakan secara komprehensif merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.


KESIMPULAN
Pada dasarnya Buku Sekolah Elektronik merupakan terobosan positif yang perlu direspons secara proporsional. Kebijakan BSE ditujukan untuk mengatasi keempat permasalahan umum buku sekolah, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kelemahan. Diperlukan penyempurnaan dalam pelaksanaan BSE yang menyangkut peningkatan kualitas sistem penilaian buku, pemerataan sarana komputer dan jaringan internet, tata niaga buku sekolah, serta regulasi subsidi bahan baku kertas.



DAFTAR RUJUKAN

Supriyadi, Dedi. 2000. Anatomi Buku Sekolah di Indonesia: Problematik Penilaian, Penyebaran, dan Penggunaan Buku Pelajaran, Buku Bacaan dan Buku Sumber. Bandung: Adicita
Tilaar, HAR. 2001. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta

Monday, December 7, 2009

Saturday, June 20, 2009

Hubungan Agama & Filsafat Menurut Ibnu Rusyd

HUBUNGAN AGAMA DENGAN FILSAFAT MENURUT IBNU RUSYD•

PENDAHULUAN
Filsafat Islam pada dasarnya bertujuan untuk mempertemukan antara agama dengan filsafat. Permasalahan yang kemudian timbul adalah bagaimana mempertemukan agama sebagai wahyu Tuhan dengan filsafat sebagai hasil ciptaan dan pikiran manusia. Permasalahan ini muncul ketika kebenaran agama harus dipertemukan dengan kebenaran filsafat yang berlandaskan pemikiran dan logika manusia.
Alternatif jawaban atas pertanyaan tersebut tidak lebih dari tiga kemungkinan. Pertama, berpegang teguh kepada agama dan menolak filsafat. Ini adalah pendapat orang beragama yang tidak berfilsafat. Kedua, sebaliknya, berpegang teguh kepada filsafat dan menolak agama, dan ini adalah pendapat orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kaidah-kaidah agama. Ketiga, mengupayakan pemaduan antara filsafat dengan agama menurut cara tertentu, dan cara inilah yang ditempuh oleh para filosof muslim ataupun para filosof yang memperhatikan kaidah-kaidah agama.
Wacana tentang pemaduan antara agama dan filsafat termasuk salah satu obyek kajian yang menjadi tuntutan lingkungan islam terutama menurut para filosof. Para filosof Islam sebenarnya mempercayai bahwa agama adalah suatu kebenaran yang tidak dapat diragukan. Dan mereka menghormati nilai-nilai serta prinsip-prinsipnya. Namun mereka juga percaya akan keluhuran dan orisinalitas filsafat. Mereka melihat filsafat sebagai kebenaran yang tak diragukan, dan oleh karenanya, mereka tidak ingin mengorbankan filsafat karena agama dan tidak ingin membunuh agama demi filsafat. Untuk itu, tidak ada jalan lain kecuali berupaya memadukan agama dan filsafat serta menyingkirkan hal yang nampak bertentangan (paradoks) di antara keduanya. Ini berarti bahwa ide sinkretisme secara esensial adalah suatu keharusan bagi mereka, selama mereka berpegang teguh pada filsafat dengan tanpa mengurangi keteguhan mereka dalam memegang Islam serta meletakkan filsafat pada posisi yang sejajar dengan Islam.

PERMASALAHAN
Diskursus tentang sinkretisme, meskipun merupakan wacana yang sudah sering diungkap dalam berbagai kesempatan, namun tidak kehilangan relevansinya untuk diungkap kembali pada kesempatan ini. Setidaknya terdapat beberapa pokok permasalahan seputar sinkretisme agama dan filsafat, antara lain :
a. Faktor-faktor apakah yang melatar belakangi upaya para filosof Islam untuk mengajukan wacana sinkretisme antar agama dan filasafat ?
b. Faktor-faktor apa saja yang mendorong Ibnu Rusyd untuk terlibat dalam upaya memadukan agama dengan filsafat ?
c. Bagaimanakan pandangan-pandangan Ibnu Rusyd yang mendasar berkaitan dengan pemaduan antara agama dan filsafat tersebut ?
d. Benarkah Ibnu Rusyd telah meninggikan filsafat ketimbang agama ? Ataukah sebaliknya ?

Pembahasan pada bagian berikut berupaya untuk memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut secara sistematis.



PEMBAHASAN

Islam sebagai agama moderat senantiasa menganjurkan jalan pertengahan (tawasuth). Karenanya, dapat diketahui bahwa semangat pemaduan dan pertengahan merupakan salah satu corak pemikiran kaum Muslimin dalam berbagai lapangan kehidupan. Setiap kali ada aliran-aliran yang berlawanan, tentu akan timbul penengahnya, seperti ditunjukkan dalam sejarah aliran dan pemikiran dalam Islam. Aliran Asy’ariyah dalam ilmu kalam dapat dikatakan merupakan aliran pertengahan dari golongan yang memegangi tekstual bunyi nash tanpa mengemukakan penafsiran rasional, dengan aliran Mu’tazilah yang mempertahankan kebebasan akal sepenuhnya dalam memahami nash dan penafsirannya. Dalam lapangan hukum Islam, madzhab Syafi’i merupakan madzhab pertengahan yang terletak diantara Madzhab Maliki yang mendasari pendapatnya kepada Hadits sesudah Qur’an (ahlu al-Hadits), dengan madzhab Hanafi yang mendasari pendapat-pendapatnya kepada pikiran dan ijtihad (ahlu al-ra’yi).
Di samping itu, terdapat juga beberapa faktor lain yang mendorong pemaduan antara agama dengan filsafat, yaitu :
1. Adanya jurang pemisah yang dalam antara Islam dengan filsafat Aristoteles dalam berbagai persoalan, seperti sifat-sifat Tuhan dan ciri-ciri Nya, Qadimnya alam, hubungan alam dengan Tuhan, keabadian jiwa, dan lain sebagainya.
2. Adanya serangan yang banyak dilancarkan oleh kalangan agamawan terhadap setiap pembahasan pikiran yang tidak membawa hasil yang sesuai dengan akidah yang telah ditetapkan sebelumnya. Sikap ini sering diikuti dengan tekanan-tekanan yang dilakukan oleh rakyat banyak dan penguasa-penguasa terhadap para filosof.
3. Hasrat para filosof sendiri untuk dapat menyelamatkan diri dari tekanan-tekanan tersebut agar mereka bisa bekerja dengan tenang dan tidak terlalu nampak pertentangannya dengan agama.

Makalah ringkas ini berisi pandangan filsafat Ibnu Rusyd berkaitan dengan upaya pemaduan dan persesuaian antara agama dengan filsafat.

BIOGRAFI IBNU RUSYD
Kehidupan Ibnu Rusyd
Ia adalah Abul Walid Muhammad bin Ahmad Ibn Rusyd, kelahiran Kordoba pada tahun 520 H, berasal dari kalangan keluarga yang terkenal keutamaannya dalam lapangan hukum Islam dan mempunyai kedudukan tinggi di Andalus. Ayahnya adalah seorang hakim, dan datuknya yang terkenal dengan sebutan Ibnu Rusyd Al-Jadd adalah Kepala Hakim di Kordoba. Latar belakang keagamaan inilah yang memberinya kesempatan untuk meraih kedudukan tinggi dalam studi-studi keislaman. Al Qur’an beserta penafsirannya, Hadits Nabi, Ilmu Fiqh, Bahasa dan Sastra Arab dipelajarinya dari para alim di zamannya. Dia mempelajari al-Muwattha’ langsung dari ayahnya dan menghapalnya. Dia juga mempelajari matematika, fisika, astronomi, logika dan filsafat serta ilmu pengobatan .
Karirnya dalam filsafat diraihnya melalui pergaulan dan belajarnya dari Ibnu Thufail yang membawanya dekat dengan Khalifah Abu Yusuf al-Mansur, yang kemudian memintanya untuk menuliskan ulasan-ulasan terhadap pemikiran-pemikiran Aristoteles. Tugas ini dikerjakannya selam beberapa tahun dan menjadikannya Pengulas Ulung terhadap karya-karya Aristoteles. Untuk itu, dia memperoleh julukan Al-Syarih (The Commentator).
Di akhir hayatnya, Ibnu Rusyd mengalami cobaan berat. Para ahli fiqh yang bekerja di istana khalifah memfitnahnya sehingga khalifah marah dan membuangnya ke Alesana (Lucenna), sebuah kota dekat Kordoba. Setelah bebas dari pembuangan, ia pindah ke Maroko dan wafat tahun 595 H.

Karya-karya Ibnu Rusyd
Kegemarannya terhadap ilmu sulit dicari bandingannya. Hal ini terlihat jelas dari karya-karyanya yang meliputi berbagai cabang ilmu, seperti : fiqh, ushul, bahasa, kedokteran, astronomi, politik, akhlak dan filsafat. Tidak kurang dari sepuluh ribu lembar tulisan telah ditulisnya. Buku-bukunya adakalanya berupa karangan sendiri, ulasan ataupun ringkasan. Kekaguman dan penghormatannya kepada Aristoteles membuatnya memberikan perhatian besar untuk memberikan Ulasan dan ringkasan bagi pemikiran dan karya-karya Aristoteles. Di samping itu, turut diulasnya pula karya-karya Plato, Iskandar Aphrodisias, Plotinus, Galinus, al-Farabi, Ibnu Sina, al-Ghazali dan Ibnu Bajah.
Karya-karyanya yang terpenting dan sampai kepada kita antara lain :
1. Bidayah al-Mujtahid; sebuah buku bernilai tinggi berisi perbandingan madzhab dalam fiqh
2. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal; Buku inidimaksudkannya untuk memnunjukkan adanya kesesuaian antara agama dengan filsafat.
3. Manahij al-Adillah ; berisi pandangan-pandangannya tentang persoalan dan aliran dalam ilmu kalam beserta kelemahan masing aliran tersebut.
4. Tahafut al-Tahafut; suatu buku yang terkenal dalam lapangan filsafat, dimaksudkan untuk melakukan pembelaan terhadap filsafat dari serangan hebat al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah.

Mengapa Ibnu Rusyd Memperhatikan Sinkretisme Agama dan Filsafat ?
Secara faktual, Ibnu Rusyd bukanlah orang pertama yang berupaya memadukan agama dan filsafat, atau antara hikmah dan syari’at, ataupun antara akal dan wahyu. Para filosof muslim sejak masa Al-Kindi telah mencoba menawarkan berbagai pola dan bentuk pendekatan yang beragam dalam hal sinkretisme antara agama dan filsafat. Bahkan, di kalangan filosof Timur (Andalus) pun telah didahului oleh Ibnu Masarrah dan Ibnu Thufail . Namun demikian, seperti akan diuraikan dalam bagian berikutnya, Ibnu Rusyd menwarkan suatu penyelesaian dengan cara atau format yang sama sekali baru dan orisinil.
Terdapat beberapa latar belakang kondisional dan faktor yang mendorong Ibnu Rusyd untuk menyelami masalah ini dan menyelesaikannya secara khusus, yaitu antara lain :
1. Ada beberapa ulama yang membeberkan hikmah seluruhnya kepada masyarakat sekaligus pendapat para ahli hikmah (filosof) menurut pemahamannya sendiri, sehingga menimbulkan kesalahan persepsi mengenai hubungan syari’at dengan hikmah.
2. Latar belakang kondisi sosio kultural masyarakat Islam terutama di wilayah Andalusia, dimana pengikut madzhab Maliki yang mendominasi wilayah tersebut tidak begitu respek terhadap filsafat, bahkan cenderung memusuhi.
3. Konflik dan sengketa yang berkepanjangan antara sekte-sekte Islam yang ada, yang masing-masingnya mengaku tetap berpegang teguh pada keaslian syari’at.
4. Ekstrimitas Ibnu Rusyd dalam mengagumi Aristoteles. Ibnu Rusyd ingin menjelaskan bahwa kekagumannya pada Aristoteles dan penyanjungannya pada pemikiran dan filsafat Aristoteles tidaklah mengeluarkannya dari agama.


PANDANGAN IBNU RUSYD TENTANG AGAMA DAN FILSAFAT
Ibnu Rusyd turut terlibat dalam diskursus pemaduan antara agama dengan filsafat, bahkan melebihi para filosof sebelumnya, karena ia telah mampu memberikan uraian yang cukup panjang dan mendalam. Dalam tujuan ini, Ibnu Rusyd menulis kitab Fashl al-Maqaal dan Manahij al-Adillah, serta Tahafut al-Tahafut. Dengan segenap ketekunan, Ibnu Rusyd harus mengadakan pemaduan antara agama dengan filsafat, karena adanya serangan yang berat terhadap filsafat , terutama dari Al-Ghazali. Karenanya, Ibnu Rusyd harus melakukan pembelaan terhadap filsafat dan menjelaskan bahwa filsafat tidak bertentangan dengan agama, bahkan mengokohkannya dan menjelaskan perumusan-perumusannya.
Dalam menguraikan perlunya pemaduan tersebut, Ibnu Rusyd menguraikan empat persoalan. Pertama, keharusan berfilsafat menurut Syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil. Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil. Keempat, Pertalian akal dengan wahyu.

Keharusan Berfilsafat Menurut Syara’
Menurut Ibnu Rusyd, persesuaian dan perpaduan antar agama dan filsafat sudah sepantasnya dianggap sebagai ciri terpenting dari filsafat Islam. Cara yang digunakan oleh Ibnu Rusyd dalam hal ini adalah cara yang jenius.
Dalam Fashl al-Maqaal, Ibnu Rusyd mengawali pembahasaannya dengan keharusan berfilsafat menurut Syara’. Menurut Ibnu Rusyd, filsafat berfungsi untuk mengadakan penyelidikan tentang alam wujud dan memandangnya sebagai jalan untuk menemukan Zat yang membuatnya. Qur’an berkali-kali memerintahkan hal yang demikian, diantaranya dalam surat Al-A’raaf ayat 185 dan surat Al-Hasyr ayat 2 yang mengandung perintah i’tibar dan nazhar. Kedua ayat tersebut secara tegas memerintahkan untuk mengambil qiyas aqli atau qiyas aqli dan qiyas syar’i bersama-sama. I’tibar dan nazhar yang dimaksudkan dalam kedua ayat tersebut tidak lain adalah pengambilan sesuatu hukum yang belum diketahui (majhul) dari sesuatu yang telah diketahui (ma’lum). Ini berarti, penyelidikan alam wujud tidak bisa tidak, mesti menggunakan qiyas aqli. Karena itu, penyelidikan yang bersifat filosofi menjadi suatu kewajiban.
Argumentasi Ibnu Rusyd tersebut, dapat dipahami secara logika, dengan mengikuti premis–premis yang disusun oleh Al-‘Iraqiy sebagai berikut :
Premis minor :
Penyelidikan filsafat secara nazhari aqli di alam ini bertujuan untuk mencapai ma’rifah kepada pembuatnya, yaitu Allah.
Premis mayor :
Agama memerintahkan dan mewajibkan manusia untuk memperhatikan dan memikirkan penciptaan di alam ini agar manusia mengenal Tuhannya (Allah)
Konklusi :
Pengkajian filsafat dalam kerangka diatas adalah kewajiban, sepanjang kemampuan, yaitu dengan metode burhan (demontrasi)

Kalau seorang faqih berdasarkan ayat tersebut menetapkan adanya qiyas syar’i, maka berdasarkan ayat tersebut pula seorang filosof lebih berhak lagi untuk menetapkan adanya qiyas aqli. Bila dikatakan qiyas aqli adalah sebuah bid’ah, maka demikian pula halnya dengan qiyas syar’i, karena keduanya tidak terdapat pada masa permulaan Islam. Kalau pengambilan qiyas aqli diwajibkan oleh Syara’ maka seorang ahli pikir harus mempelajari logika dan filsafat. Untuk itu, karena filsafat telah berkembang sebelumnya dengan tokoh-tokoh seperti Plato dan Aristoteles, maka mempelajari pemikiran para filosof terdahulu tersebut adalah suatu keniscayaan. Tidaklah mungkin bagi orang-orang yang datang kemudian membangun filsafat yang baru sama sekali dengan meninggalkan pemikiran-pemikiran filsafat yang telah berkembang sebelumnya.

Keharusan Ta’wil
Para filosof Islam bersepakat bahwa akal dan wahyu keduanya menjadi sumber pengetahuan dan alat untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, dalam Qur’an dan Hadits, terdapat banyak nash yang secara lahir bertentangan dengan filsafat. Bagi Ibnu Rusyd, nash-nash tersebut dapat dita’wilkan sepanjang memenuhi aturan-aturan ta’wil dalam bahasa Arab, seperti halnya lafazh-lafazh dari Syara’ dapat pula dita’wilkan dari segi aturan fiqh. Karena itu, para ulama sepakat bahwa tidak semua kata-kata yang datang dari Syara’ diartikan menurut lahirnya, tidak pula harus dikeluarkan semuanya dari arti lahirnya, tetapi menggunakan makna batinnya. Penafsiran (pena’wilan) semacam inilah dipakai oleh ulama-ulama fiqh dan para filosof.
Dengan demikian, ada arti lahir dan arti batin. Bila arti lahir sesuai dengan hasil pemikiran, maka arti ini harus diambil dan kalau berlawanan maka harus dicari pena’wilannya. Arti ta’wil adalah mengeluarkan sesuatu kata dari arti yang sebenarnya kepada arti yang majazi (allegorik).
Rangkapnya arti tersebut, dikarenakan perbedaan pandangan orang dan kemampuannya untuk mempercayai. Manusia dalam hal ini terdiri dari tiga golongan, sesuai dengan pembagian qiyas, yaitu golongan pemakai qiyas burhani, qiyas jadali, dan qiyas khithabi.
Qiyas burhani adalah qiyas yang terdiri dari dasar-dasar pikiran (premis) yang yakin dan berpijak pada hukum-hukum aksioma. Karena itu, qiyas tersebut memiliki konklusi yang meyakinkan, dan itulah qiyas yang sebenar-benarnya dan lazim dipakai dalam dunia pemikiran filsafat.
Qiyas jadali terdiri dari dasar-dasar pikiran yang masih berada dalam daerah kemungkinan, yang diterima oleh semua orang atau sebagian besarnya atau diterima oleh semua filosof, dan kesimpulannya juga masih berada pada daerah kemungkinan pula. Qiyas jadali ini tidak bisa menggantikan qiyas burhani dan hanya bisa dipakai dalam arena perdebatan dan yang sejenisnya.
Qiyas khithabi adalah qiyas yang didasarkan atas pikiran-pikiran dasar yang lemah dan hanya sesuai untuk pilihan si pendengar dan keadaan jiwanya. Qiyas ini bersifat sentimentil, yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau memberi kepuasan jiwa, bukan untuk memberikan pengertian yang benar.
Golongan para pemakai qiyas burhani adalah para filosof yang mempunyai dalil-dalil yang kuat. Sedangkan golongan pemakai qiyas jadali adalah para teolog Islam (mutakallimin) yang hanya sampai ke tepi keyakinan tetapi tidak sampai mengarunginya. Adapun qiyas khithabi adalah manusia pada umumnya yang kurang memiliki kecerdasan otak, dan fitrahnya masih kurang sempurna, sehingga tidak mampu memahami qiyas jadali dan qiyas burhani.

Aturan-aturan Ta’wil
Ibnu Rusyd meletakkan beberapa aturan sebagai pegangan dalam melakukan ta’wil, yaitu :
1. Setiap orang harus menerima prinsip-prinsip Syara’ dan mengikutinya, serta menginsyafi bahwa Syara’ melarang untuk memperkatakan hal-hal yang tidak disinggung olehnya.
2. Yang berhak mengadakan ta’wil hanyalah golongan filosof semata, bahkan filosof tertentu saja, yaitu mereka yang mendalam ilmunya. Ta’wil ini tidak boleh dilakukan oleh ulama-ulama fiqh, termasuk juga ulama-ulama mutakallimin, karena keterbatasan ilmunya dan berbeda-beda pendapatnya, bahkan mereka telah menyebabkan terjadinya perpecahan dan timbulnya golongan-golongan dalam Islam.
3. Hasil pena’wilan hanya dapat dikemukakan kepada golongan pemakai qiyas burhani, yaitu para filosof, bukan kepada kepada orang awam karena orang awam hanya mengetahui arti lahirnya nash.
4. Kaum Muslimin bersepakat bahwa dalam Syara’ ada tiga bagian, yaitu : Bagian yang harus diartikan menurut lahirnya; bagian yang harus dita’wilkan; dan bagian yang masih diperselisihkan.
Dalam hal pena’wilan terhadap sesuatu yang sudah disepakati untuk diartikan menurut lahirnya ataupun pengartian menurut lahirnya dari sesuatu yang semestinya dita’wilkan, diperlukan ijma’ kaum muslimin.
Dalam kaitan ini, menurut Ibnu Rusyd, para ulama membagi ijma’ menjadi dua, yaitu ijma’ dalam amalan lahir dan ijma’ dalam amalan penyelidikan akal. Mereka menetapkan bahwa ijma’ dalam soal-soal akidah tidak mungkin terjadi dengan jalan yang yakin, sebagaiman yang mungkin terjadi dalam soal-soal amalan. Dalam soal-soal amalan, ijma’ bisa terjadi apabila sesuatu amalan tersebut luas, kemudian tidak terdengar ada pendapat yang menyalahinya. Ketidak mungkinan ijma’ seperti ini pula yang, sebagaimana diakui pula oleh Al-Ghazali sendiri. Karena itu, sangatlah berlebihan dalam hal yang tidak mungkin terjadinya ijma’ ini, penta’wilan para filosof disalahkan , bahkan dinyatakan sebagai kekufuran.

Kedudukan Wahyu dan Pertaliannya dengan Akal
Ibnu Rusyd, meskipun ia memuja kekuatan akal dan mempercayai kesanggupannya, untuk mengetahui, namun ia menyatakan bahwa dalam dunia ini ada hal-hal yang terletak diluar kesanggupan akal untuk dapat diketahuinya. Karena itu, dalam hal ini harus dikembalikan kepada wahyu yang diturunkan memang untuk menyempurnakan akal. Dalam bukunya, Tahafut al-Tahafut ia menyatakan, “Segala sesuatu yang tidak disanggupi akal, maka Tuhan memberikannya kepada manusia melalui wahyu”. Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Ibnu Rusyd adalah dalam permasalahan : bagaimana mengetahui Tuhan, mengetahui arti kebahagiaan, dan kesengsaraan di dunia dan di akhirat, dan mengetahui jalan untuk mencapai kebahagiaan dan menjauhkan kesengsaraan tersebut.
Persoalan-persoalan tersebut, seluruhnya atau sebagian besarnya, tidak akan bisa dijelaskan secara sempurna kecuali dengan wahyu, atau apabila dijelaskan dengan wahyu maka lebih utama. Hal ini dapat dimengerti, karena filsafat bertujuan mengamalkan tentang kebahagiaan manusia kepada sebagian dari mereka, yaitu mereka yang mempunyai kesanggupan untuk mempelajarinya. Atau dengan kata lain, ditujukan kepada orang yang pandai saja. Sedangkan Syara’ bermaksud memberikan tuntunan atau pelajaran kepada orang banyak secara umum. Karena itu, ilmu yang dibawa oleh wahyu menjadi rahmat bagi semua orang.
Jadi, wahyu dianggap oleh Ibnu Rusyd sebagai suatu keharusan untuk semua orang, dan kekuatan akal dalam mencari kebenaran berada di bawah kekuatan wahyu. Inilah yang terungkap dari dalam kedua bukunya Manahij al-Adilah dan Tahafut al-Tahafut. Sikap ini pula yang kemudian mengundang banyak pertanyaan dan kontroversi, apakah Ibnu Rusyd seorang rasionalis tulen atau bukan.




PENUTUP

Dari pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa upaya sinkretisme agama dan filsafat merupakan keniscayaan sejarah, kondisi dimana para filosofnya berupaya menjaga eksistensi filsafat dari serangan para tokoh-tokoh Islam yang menentangnya. Alternatif terbaik yang dapat diambil oleh para filosof muslim adalah berupaya melakukan sinkronisasi antara agama dan filsafat.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan oleh Ibnu Rusyd, yang secara mendasar dan dengan pendekatan yang sama sekali baru dibanding para filosof pendahulunya, berupaya melakukan pembelaan atas filsafat dengan menempatkannya pada posisi yang tidak diametral dengan agama, bahkan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam upaya memahami agama secara baik.
Dalam Ibnu Rusyd sinkretisme agama dan filsafat didasari pada empat prinsip dasar. Pertama, keharusan berfilsafat menurut Syara’. Kedua, pengertian lahir dan pengertian batin serta keharusan ta’wil. Ketiga, Aturan-aturan dan Kaidah ta’wil. Keempat, Pertalian akal dengan wahyu.
Dengan keempat prinsip tersebut, yang dijabarkan secara sistematis dalam karya-karya utamanya, Ibnu Rusyd berhasil menempatkan filsafat sebagai bagian dari keberagamaan yang tidak perlu dipertentangkan. Namun demikian, Ibnu Rusyd tetap memberikan otoritas kepada wahyu di atas filsafat, sehingga dengan demikian Ibnu Rusyd sesungguhnya bukanlah rasionalis tulen yang menafikan wahyu.

DAFTAR BACAAN

Abdul Maqsud, Abdul Maqsud Abdul Ghani . Al-Taufiq bayn al-Din wa al-Falsafah ‘inda Falasifah al-Islam fi al-Andalus (Agama dan Filsafat) terj. Saifullah & Ahmad Faruq. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 2000
Al-Ahwani, Ahmad Fuad. Filsafat Islam. terj. Tim Pustaka Firdaus. Pustaka Firdaus. Jakarta. 1997
Al-‘Iraqiy, Muhammad ‘Athif. Al-Manhaj al-Naqdiy fi Falsafah Ibn Rusyd. Dar al-Ma’arif. Kairo. 1980
Al-‘Iraqiy, Muhammad ‘Athif. Al-Naz’ah al-‘Aqliyah fi Falsafah Ibn Rusyd. Dar al-Ma’arif. Kairo. 1979
Hanafi, Ahmad. Pengantar Filsafat Islam. Bulan Bintang. Jakarta. 1996
Ibn Rusyd. Fashl al-Maqaal fi ma Bayn al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal. Dar al-Ma’arif. Kairo. 1980
Madkour, Ibrahim. Aliran dan Teori Filsafat Islam. Terj. Yudian W. Asmin. Bumi Aksara. Jakarta. 1995
Musa, Muhammad Yusuf. Bayn al-Din wa al-Falsafah : fi Ra`yi Ibn Rusyd wa falasifah al-‘ashr al-wasith. Dar al-Ma’arif. Kairo. 1968
‘Uwaidhah, Kamil Muhammad Muhammad. Ibn Rusyd al-Andalusiy : Failasuf al-‘Arab wa al-Muslimin. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah. Beirut. 1993
Sharif, M.M, The Philosophers, dalam History of Moslem Philosophy. Terj. Ilyas Hasan. Mizan. Bandung. 1998

PERKEMBANGAN SAINS ABAD 20

PERKEMBANGAN SAINS ABAD KE 20


PENDAHULUAN

Sains modern telah membawa pengaruh yang dalam pada hampir semua aspek kehidupan umat manusia. Ia telah menjadi dasar bagai teknologi dan rekayasa kehidupan yang secara fundamental telah mengubah kondisi-kondisi kehidupan di muka bumi, baik kemaslahatan yang ditimbulkannya maupun kerusakan yang dihasilkannya. Saat ini, dapat dikatakan hampir tidak ada satupun industri yang tidak memanfaatkan hasil-hasil dari sains, dan pengaruhnya dalam struktur politik dunia dapat dilihat dari perlombaan persenjataan yang semakin canggih. Lebih jauh, pengaruh sains tersebut sudah bergerak jauh, melampaui batas teknologi dan secara dramatis telah meluas ke kancah pemikiran dan kebudayaan, dimana pengaruh tersebut menuntun manusia pada terjadinya revisi mendasar atas konsepsi manusia tentang alam semesta dan relasi manusia terhadapnya.
Lompatan-lompatan besar dalam sejarah perkembangan sains banyak terjadi pada abad ke-20. Banyak teori-teori dan penemuan-penemuan sains yang dihasilkan pada abad tersebut mendorong pada revolusi sains dan paradigmanya. Sejumlah besar ilmuwan terlibat dalam kemunculan teori dan penemuan sains. Demikian pula, sejumlah negara dan kawasan memiliki kontribusi yang lebih merata bila dibandingkan dengan perkembangan sains pada abad-abad sebelumnya. Karena itu, sangatlah beralasan bila kajian tentang perkembangan sains pada abad ke-20 ini menjadi suatu keniscayaan yang mendasar. Tidak sebanding dengan luasnya topik kajian ini, dalam tulisan serba singkat ini, penulis hanya mencoba mengungkap kembali beberapa fenomena yang menyertai teori dan penemuan sains yang dihasilkan pada abad ke-20 ini. Kajian lebih mendalam dan diskusi lebih lanjut akan sangat membantu bagi upaya memahaminya lebih jauh. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak sangat diharapkan penulis dalam upaya memahami topik kajian tersebut.


PERKEMBANGAN SAINS HAYATI (LIFE SCIENCE) ABAD KE 20

Beberapa Perkembangan Sains Hayati Abad ke-20 dapat diungkap sebagai berikut:
1. Genetika
Meskipun Hukum-hukum genetika Mendel telah ditemukan pada tahun 1866, namun hukum Mendel tersebut baru menarik perhatian orang setelah ditemukan kembali oleh tiga orang ilmuwan, yaitu Hugo De Vries (Belanda), Carl Erich Correns (Jerman) dan Erik Tschermak von Seysenegg (Austria) pada tahun 1900. Berikutnya, Walter S. Sutton dan T. Boveri secara terpisah pada 1902 mengembangkan riset tentang prilaku kromosom dalam pembelahan sel tubuh dan sel kelamin., dan mengemukakan adanya keterpautan gen (gen linkage). Istilah gen sendiri mula-mula digunakan oleh ahli genetika Denmark, Johansen pada 1906 sebagai nama bagi satuan pewarisan sifat yang dipostulatkan oleh Mendel. Menjelang 1940-an studi tentang genetika berkembang pesat dan pada waktu itu dipastikan bahwa pembawa faktor-faktor keturunan ialah kromosom dalam sel dan istilah gen digunakan untuk unit-unit pembawa faktor keturunan dalam kromosom. Pada 1940 dua orang ahli biologi Amerika, Beadle dan Tatum mengerjakan riset yang menghasilkan kesimpulan bahwa produksi suatu enzim ditentukan oleh ada tidaknya suatu gen tertentu. Dalam pekerjaannya tersebut, Beadle dan Tatum mereduksi peristiwa biologi menjadi peristiwa kimia. Pada tahun 1944 tiga orang ilmuwan Amerika, O.T. Avery, C.M. Mc. Leod dan M. Mc. Carty menunjukkan bahwa dalam bakteri pemindahan faktor keturunan dilakukan oleh DNA. Dalam penelitian mereka tersebut, ekstrak dari sel bakteri yang satu gagal men-transformasi sel bakteri lainnya kecuali jika DNA dalam ekstrak dibiarkan utuh. Eksperimen Hershey dan Chase kemudian membuktikan hal yang sama dengan menggunakan pencari jejak radioaktif (radioactive tracers). Misteri yang belum terpecahkan ketika itu adalah: bagaimanakah struktur DNA sehingga ia mampu bertugas sebagai materi genetik. Persoalan ini dijawab oleh Francis Harry Compton Crick dan koleganya James Dewey Watson berdasarkan hasil difraksi sinar-x DNA oleh Maurice Hugh Frederick Wilkins dan Rosalind Franklin. Kemudian hari, Crick, Watson, dan Wilkins mendapatkan hadiah Nobel Kedokteran pada 1962 atas penemuan ini.


2. Neo-Darwinisme
Pada tahun 1942 Julian Huxley menggabungkan teori evolusi Darwin dan genetika sebagai acuan dasar Neo-Darwinisme sistematis, yang disebutnya Sintesis Modern. Dalam hal ini mutasi dan kombinasi gen (unit hereditas) dipandang sebagai sumber utama variasi, dan keduanya mengalami proses acak yang tidak ada kaitannya dengan kebutuhan organisme. Para pendukung sintesis modern ini diantaranya adalah Ernst Mayr, Theodisius Dobzhansky dan Gaylord Simpson. Berbeda dengan Neo-Darwinisme yang telah berkembang sebelumnya, dimana perubahan evolusioner dalam dipandang sebagai hasil akumulasi bertahap dari perubahan-perubahan kecil, pada tahun 1970-an Stephen Jay Gould dan Niles Eldredge mengusulkan teori kesetimbangan bersela (punctuated equilibrium), di mana terdapat periode stabilitas yang panjang diselingi perubahan besar yang berlansung singkat. Teori ini dapat dianggap sebagai versi luas dari sintesis Neo-Darwinian. Pada perkembangan berikutnya, dalam kaitannya dengan sifat dan teori evolusi Darwin, muncul teori The Selfish Gene tentang gen yang mementingkan diri sendiri yang dikemukakan oleh Richard Dawkins pada tahun 1976 . Dawkins menggunakan istilah replikator untuk gen yang salah satu sifat paling mencoloknya adalah adanya persaingan antar replikator; dimana replikator yang paling menang akan menjadi replikator yang bertahan hidup dan terus menyelenggarakan proses replikasi yang akan menyangga kehidupan; sebuah proses yang mengingatkan pada teori seleksi alami Darwin.
3. Biokimia
Mekanisme terang gelap pada teori fotosintesis yang telah ditemukan sebelumnya oleh von Mayer (1842), baru mendapatkan penjelasan memadai setelah Cornelis van Niel meneliti bakteri fotosintesis pada tahun 1931. Kesimpulan yang diperolehnya dari penelitian ini adalah bahwa oksigen yang dibebaskan dari proses fotosintesis bukan berasal dari karbondioksida tetapi berasal dari molekul air. Teori tentang fotosintesis ini kemudian disempurnakan oleh Richard Willstatter yang mengemukakan pendapatnya bahwa energi yang diperlukan untuk mereduksi karbondioksida berasal dari cahaya matahari yang diserap zat dalam tumbuhan yang berwarna hijau, yang terdiri atas dua senyawa yang hampir sama yaitu klorofil a dan klorofil b. Ia memperoleh hadiah Nobel tahun 1915 atas hasil penelitiannya tentang klorofil, karotenoida dan antosianin serta penggunaan kromatografi partisi untuk memurnikan senyawa-senyawa tersebut. Pada tahun 1920 Otto Heinrich Warburg (Jerman) bersama ayahnya Emil Warburg melakukan penelitian tentang pengukuran energi yang dibebaskan oleh suatu reaksi fotokimia. Di samping itu, Otto Warburg juga berjasa mengidentifikasi enzim derivat besi porfirin dan enzim-enzim lain yang berperan dalam respirasi sel. Berikutnya, pada tahun 1930 Hans Fischer (Jerman) berhasil menentukan rumus struktur klorofil. Antara tahun 1946-1953 Melvin Calvin (Amerika) melakukan penelitian untuk mengetahui zat antara yang dihasilkan oleh proses fotosintesis, sebelum terbentuk molekul gula atau glukosa dengan menggunakan perunut radiokarbon.
Pada awal abad ke-20 studi tentang biokimia terutama diarahkan pada vitamin dan hormon. Kemudian dengan ditemukannya radiosiotop sebagai bahan perunut maka studi tentang fermentasi, metabolisme serta enzim dan genetika mendapat perhatian besar. Pada tahun 1912 Frederick Gowland Hopkins (Inggris) memperkenalkan konsep faktor makanan tambahan, selain makanan yang mengandung energi, dan protein atau mineral. Penelitiannya pada tahun 1906 dan 1907 menghasilkan penemuan asam amino esensial, berhasil mengisolasi triptofan dan glutation, serta melakukan penelitian mengenai asam laktat dan kaitannya dengan fungsi otot. Cassimir Funk (Polandia) menamai faktor makanan tambahan tersebut sebagai vitamin. Sebelumnya, Christian Eijkmann (Belanda) telah menemukan faktor antineuritik yang di kemudian hari dikenal dengan nama tiamin (vitamin B1). Karenanya, Hopkins dan Eijkman kemudian mendapatkan hadiah Nobel tahun 1929. Ahli biokimia lain, Richard Kuhn (Jerman) berhasil mengisolasi riboflavin (vitamin B2) yang membawanya memperoleh hadiah nobel pada tahun 1938.
Pada tahun 1907 Eduard Buchner mendapat hadiah nobel atas karyanya tentang proses fermentasi yang menghasilkan alkohol. Pada tahun 1904 Arthur Harden (Inggris) dan Young berhasil mengisolasi koenzim dari cairan ragi. Studi yang dilakukan Otto Fritz Meyerhoff (Jerman) menunjukkan bahwa koenzim yang terdapat pada proses fermentasi yang menghasilkan alkohol jugaterdapat dalam sel otot dan merupakan faktor penting dalam metabolisme karbohidrat. Bersama dengan Gustav Embden ia menjelaskan tentang penguraian gula fosfat beratom karbon 6 menjadi dua molekul beratom karbon 3, hingga menjadi asam piruvat. Rangkaian reaksi ini kemudian dinamakan jalur Embden-Meyerhoff. Berikutnya, James Batcheller Sumner (Amerika) berhasil memperoleh kristal urease pada tahun 1926. Pada tahun 1960 William H. Stein dan Stanford Moore (Amerika) berhasil untuk pertama kalinya menentukan urutan asam amino dari ribonuklease. Selanjutnya, pada tahun 1965 David C. Phillips (Inggris) berhasil pula menentukan struktur tiga dimensi dari lisozim.
Pada tahun 1937 Albert Szent-Gyorgi, seorang ahli biokimia asal Hongaria memperoleh hadiah nobel atas penemuannya mengenai proses pembakaran dalam sistem biologi dengan perhatian khusus terhadap vitamin C serta asam fumarat. Penelitian ini dilakukannya pada tahun 1930 dan ia juga berhasil mengisolasi asam askorbat (vitamin C). Di samping itu juga, ia melakukan penelitian tentang jaringan otot serta metabolisme yang terjadi serta peranan ATP sebagai sumber energi. Penelitian tentang metabolisme yang menghasilkan energi dilakukan Krebbs pada tahun 1937, yang menyatakan adanya siklus metabolisme yang terdiri atas serangkaian reaksi kimia dalam sel yaitu pada mitokondria.

PERKEMBANGAN SAINS FISIK ABAD 20
I. Dari Gravitasi ke Relativitas Khusus
Sampai dengan 300 tahun yang lalu, wajah Bumi dan peradabannya masih sangat kusam, menyedihkan bahkan menyeramkan. Buta aksara, angka kematian bayi yang sangat tinggi, usia harapan hidup yang pendek adalah beberapa yang membayangi kehidupan manusia. Perbudakan, penjajahan, penganiayaan atas sesama demi kepuasan tontonan yang menjadi bagian hiburan terjadi di bagian dunia yang justru relatif lebih beradab. Yang memiliki martabat hanyalah segelintir orang yang berada dalam istana dan memegang kekuasaan.
Dalam keadaan seperti itulah, hidup Isaac Newton (1642-1727), meletakkan dasar-dasar penalaran ilmiah dari banyak disiplin ilmu, dan mempunyai andil yang sangat besar pada perkembangan ilmu serta pemikiran filsafat.
Teori Gravitasi Newton mempersatukan teori gerakan linear lurus yang dikemukakan Galileo dengan gerakan linear dalam garis tertutup yang diajukan oleh Keppler. Hukum-hukum Mekanika Newton memberi inspirasi pada pembuatan alat-alat bantu sederhana dalam kehidupan manusia. Apalagi prinsip-prinsip mekanik Newton dipacu secara spektakuler oleh temuan mesin Uap oleh James Watt tahun 1765. Dengan dua pilar itu dunia memasuki dunia industri.
Selama dua abad para ilmuwan bersepakat bahwa Newton telah membuat garis besar system of the world. Sampai akhir abad ke-19, para ilmuwan telah memiliki gambaran komprehensif tentang bagaimana kerja dunia. Sejumlah orang besar telah menyelesaikan problem besar. Tugas penerus hanyalah mengisi detil, untuk menambah angka desimal selanjutnya.
Seabad setelah Newton, matematikawan Perancis Lagrange (1736-1813) mengungkapkan pandangannya bahwa Newton adalah Jenius terbesar yang pernah ada, kita tak dapat menemukan lebih dari satu tatanan dunia yang mantap. Aleksander Pope secara khusus membuatkan sebait puisi untuknya
Nature, natures laws lay in hid in the dark
God said, let Newton be, and all was light.
Karena merasa bisa menjelaskan segala sesuatu, fisika klasik tampaknya sudah tak punya prospek lagi. Tak ada lagi kejayaan disana. Bahkan guru Max Planck (1858 1947) sempat berujar Fisika sudah tamat riwayatnya dan sudah menjadi jalan buntu. Itulah sebabnya ia menganjurkan Planck untuk mendalami musik dan menjadi pianis konser. Tetapi Planck tetap memilih fisika dan dengan teori kuantumnya serta teori relativitas Einstein, meluluh lantakkan pondasi sistem Newtonian.
Peralihan abad membawa krisis atau revolusi dalam fisika. Kedua teori itu telah menghadirkan paradigma baru. Menurut Thomas Khun, (Smolicz, 1984) pergeseran paradigma dibarengi oleh suatu revolusi pengetahuan.
Sedemikian luasnya revolusi tersebut sehingga tampak abadi tidak tergantikan, Sistem Newton tampak menjadi seperti ilusi. Albert Eisnten memperlihatkan bahwa massa dapat dikonversi menjadi energi. Sehingga untuk Newton baru ini, Sir John Squire tergoda untuk menambahkan bait baru untuk puisi di atas.
Nature, natures laws lay in hid in the dark
God said, Let Newton be, and all was light.
It did not last: the Devil howling Ho
Let Einstein be Restore the status quo
Mengingat perkembangan ilmu pengetahuan alam pada abad ini jauh lebih kompleks dan lebih pesat daripada perkembangan dalam abad XIX, maka artikel ini hanya membahas teori yang terkenal pada abad ini yaitu Teori Relativitas Einstein, Teori Kuantum Planck, Kelistrikan, dan Radioaktivitas Becquerel.

II. Teori Relativitas Einstein.
Cohen dalam Conny Semiawan (1988) berpendapat bahwa, baik untuk ilmuwan maupun non ilmuwan, relativitas melambangkan revolusi ilmu pada abad ke-20. Teori relativitas khusus yang dirilis Einstein tahun 1905 memperlihatkan bahwa hanya gerak relatif yang dapat diamati, bergantung dari gerakan pengamatnya. Teori ini berbicara tentang hukum fisika berlaku sama untuk semua pengamat selama mereka bergerak dengan kecepatan konstan pada arah yang tetap. Misalkan seseorang berdiri di peron stasiun kereta api dan melihat seseorang menggigit rotinya dua kali di dalam gerbong kereta yang berjalan. Bagi kita yang ada di peron, kita mengatakan ia menggigit di dua tempat berbeda. Namun bagi orang-orang yang ada dalam gerbong kereta, mereka mengatakan bahwa orang tersebut menggigit rotinya ditempat yang sama. Di sinilah relativitas bekerja.
Teori relativitas khusus tidak cocok dengan teori gravitasi Newton yang menyatakan bahwa benda-benda tertarik satu sama lain dengan gaya yang bergantung pada jarak benda-benda itu. Artinya jika kita menggerakkan salah satu benda, maka seketika itu pula gaya yang bekerja akan berubah. Hal ini berarti bahwa efek gravitasi bergerak dengan kecepatan tak hingga, tidak seperti yang diperkirakan oleh teori relativitas khusus (yang menyatakan tak ada sesuatu yang bergerak lebih pesat dari kecepatan cahaya.
Konsekuensi dari teori relativitas adalah ditinggalkannya ide-ide yang berkenaan dengan ruang dan waktu mutlak dan konsep eter yang menyerap ke semua tempat, yang waktu itu dianggap sebagai medium untuk perambatan cahaya dan semua bentuk radiasi elektromagnetik lainnya.
Sepuluh tahun kemudian (1915), Einstein melengkapinya dengan Teori Relativitas Umum. Teori ini pada dasarnya berbicara tentang ruang alam semesta yang melengkung. Dalam teorinya yang baru ini, Einstein mengatakan bahwa gravitasi bukanlah merupakan gaya seperti gaya-gaya yang lainnya, namun dia menggambarkan gravitasi sebagai konsekuensi ruang-waktu yang tidak datar. Distribusi massa dan energi membuat ruang-waktu terpilin atau melengkung. Benda-benda seperti bumi tidak bergerak dalam orbit melengkung karena gaya yang disebut gravitasi, namun benda-benda itu mengikuti suatu lintasan dalam ruang melengkung.
Meskipun kedua teori itu sama-sama revolusioner, perhatian dunia lebih tertuju pada relativitas khusus karena adanya verifikasi ramalan pada teori umum, yaitu bahwa cahaya bintang yang melintas dekat matahari dibengkokkan oleh gravitasi matahari. .
Pada mulanya tidak banyak ahli fisika yang dapat menerima teori relativitas khusus. Kesukarannya terutama bersifat konseptual meskipun juga terdapat rintangan eksperimental. Sedikit demi sedikit rintangan eksperimental dapat diatasi melalui Buchener dan Huppka. Sejak 1914-1916 terus menerus ditemukan berbagai bukti eksperimental yang mendukung teori relativitas.
Selain melalui eksperimen, teorinya sendiri mengalami rekonstruksi fundamental di tangan Hermann Minkowski yang mengajarkan matematika pada Einstein. Minkowski memperkenalkan konsep kesatuan ruang-waktu empat dimensi yang menggantikan konsep terpisah dari ruang tiga dimensi dan waktu yang satu dimensi. Ia juga membuktikan bahwa dari sudut pandang relativitas bahwa teori Gravitasi Newton yang tradisional tidak adekuat. Kontribusi Minkowski diakui oleh Einstein dengan mengatakan tanpa itu, teori relativitas umum barangkali tidak akan meninggalkan popoknya.
Max Born menjumpai bahwa Teori Einstein baru dan revolusioner. Einstein memiliki keberanian untuk menantang filsafat Newton yang sudah mapan. Mengenai konsep tradisional ruang dan waktu. Ia memang mengakui kekuatan revolusi intelektual Einstein dan revolusinya di atas kertas, tetapi itu belumlah suatu revolusi dalam ilmu. Ide-ide baru dan cara berpikir yang baru itu masih harus dipelajari, diterima, diterapkan dan dijadikan basis dari keyakinan ilmuwan umumnya.
Relativitas umum adalah revolusi Einstein yang kedua. Sebuah lompatan jauh ke depan yang meninggalkan banyak ahli fisika, justru pada waktu banyak dari mereka telah memihak kepada relativitas khusus. Sampai-sampai Max Planck yang merupakan pendukung relativitas khusus yang paling bersemangat, bertanya pada Eintein, Semuanya sudah hampir beres, mengapa anda mencari masalah lain?
Einstein melakukan ini karena ia mengetahui bahwa relativitas khusus tidak lengkap, bahwa relativitas khusus tidak membahas percepatan dan gravitasi. Ide utama yang menggerakannya adalah sebuah pikiran sederhana, Jika orang jatuh bebas, ia tidak akan merasakan beratnya sendiri.
Salah satu ciri intelektual teori relativitas umum yang spektakuler adalah reduksi kekuatan-kekuatan gravitasi Newton menjadi aspek-aspek lengkungan empat dimensi ruang dan waktu. Hal ini berarti bahwa relativitas umum menyiratkan terdapatnya kekeliruan atau kekurangan esensial selama itu.
Einstein mendapatkan hadiah Nobel tahun 1921 sebagai penghargaan atas kerja kerasnya dalam bidang Fisika.

III. Listrik dan Keradioaktifan
1. Tabung Sinar Katoda Penemuan Elektron.
Perkembangan teori tentang atom pada akhir abad ke-19 adalah mengenai struktur atom itu sendiri, yaitu tentang bagaimana atom itu dibangun. Teori tentang struktur atom ini dilandasi oleh penemuan elektron serta fakta adanya zat-zat yang memancarkan sinar radioaktif.
Tahun 1859 Julius Plucker menemukan adanya sinar katoda. Yang ia temukan ketika mengalirkan arus listrik melalui tabung yang berisi gas bertekanan rendah. Ternyata ia mengamati ada sinar yang memancar dari katoda. Hittorf (1869) menemukan bahwa sinar itu dapat dibelokkan oleh medan magnet. William Crookes (1879) juga menemukan hal yang sama ketika melakukan percobaan dengan Tabung Crookes-nya. Berdasarkan penelitiannya ia menyatakan bahwa sinar katoda itu berupa partikel-partikel yang bermuatan negatif dan berkecapatan tinggi. Pendapat ini baru dapat diterima setelah ditemukannya sinar X oleh Wilhelm Rontgen.
Rontgen melakukan eksperimen dengan tabung Crookes dengan tekanan udara yang dikurangi sampai sepersejuta tekanan udara normal. Ternyata secara terduga ia mengamati bahwa kristal barium platino sianida bersinar terang. Demikian pula ternyata pelat fotografi yang tersimpan didekatnya seperti terkena cahaya. Rontgen berusaha mencari sumber cahaya yang menyebabkan dua peristiwa tadi. Ternyata cahaya tersebut datang dari tabung Crookes. Atas dasar temuannya ia mengemukakan pendapatnya bahwa sinar katoda yang terjadi dalam yang terjadi dalam tabung Crookes itu telah mengenai anoda yang terbuat dari logam dan mengakibatkan terjadinya sinar yang memancar keluar dari tabung itu. Sinar itu dinamai sinar X.
Dengan ditemukannya sinar X (1895), J.J. Thomson yang juga melakukan eksperimen dengan tabung Crookes, mengemukakan bahwa sinar katoda itu terdiri atas partikel-partikel yang amat kecil dan bermuatan listrik negarif (1897). Ia melakukan pengukuran terhadap partikel itu yang dikatakannya sebagai bagian dari semua jenis atom. Ia menyebut partikel itu sebagai corpuscles. Pengukurannya menunjukkan bahwa rasion massa dengan muatan pada partikel tersebut adalah seperseribu dari rasio massa dengan muatan ion hidrogen. Istilah Elekton untuk partikel sinar katoda diperkenalkan oleh George Johnstone Stoney. Sedangkan muatan elektron ditentukan oleh Milikan dengan percobaan tetes minyak.
2. Radioaktivitas.
Becquerel, yang berpikir bahwa sinar x harus mempunyai sesuatu dengan kilauan yang tampak dalam tabung Crookes, berusaha mencari bahan lainnya, seperti mineral dan garam, misalnya uranium, akan menunjukkan sifat-sifat yang sama. Atas petunjuk dari Henri Poincare yang menyebabkan Becquerel menegaskan bahwa terdapat hubungan antara sinar x dan fosforesensi. Ayahnya mempunyai koleksi bahan fosforesensi. Becquerel dapat dengan mudah mengambil seng sulfida seperti juga mengambil uranium nitrat. Untuk menguji gagasannya, ia membungkus pelat fotografi dengan kertas hitam agar tidak terkena sinar matahari, kemudian ia menempatkan sebuah kristal yang berfosforensensi di atas pelat tadi dan meletakkannya diluar agar terkena sinar matahari. Apabila kristal yang berfosforesensi itu memancarkan sinar yang dapat menembus kertas pembungkus dan mengenai pelat fotografi. Setelah diproses, akan terbentuk bayangan kristal. Apabila ini terjadi Becquerel dapat menyimpulkan hipotesisnya bahwa material itu memancarkan sinar X ketika berfosforesensi terbukti benar.
Ternyata keadaan diluar berawan, sinar matahari hanya sedikit. Ia menyimpan kembali kristal dan pelat fotografinya dalam laci. Kemudian ia mempersiapkan perlengkapan untuk eksperimen berikutnya. Namun ketika ia memproses pelat fotografi yang lama dan yang baru. Ternyata ia mendapatkan gambaran bayangan kristal yang berintensitas tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa dalam keadaan gelam kristal dapat memancarkan sinar yang menembus kertas pembungkus. Dengan demikian jelaslah bahwa pancaran tersebut tidak ada hubungannya dengan sifat fosforesensi yang menjadi hiposesisnya semula. Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pancaran tersebut berasal dari uranium. Becquerel menemukan adanya sifat radioaktif pada uranium ini pada tahun 1896 dan 1903 ia memperoleh hadiah Nobel bersama Piere dan Marie Curie atas hasil penelitiannya mengenai sifat radioaktif dalam uranium.
3. Transmutasi radioaktif
Rutherford mempelajari sifat-sifat radioaktif, dan memperlihatkan bahwa salah satunya, sinar alfa, adalah sesuatu yang baru dalam sains. Sinar itu terdiri atas partikel material yang ditembakkan dengan kecepatan yang inconceivable. Di melihat bahwa atom radium melepaskan atom helium, unsur langka yang revealed matahari elalui karakter cahaya yang diemisikan, dan meninggalkan atom lainnya atom radium. Dengan kombinasi antara teknik fisika dan kimia, Rutherford dan Sody meneruskan penelitiannyanya, dan tahun 1899 1907 ditemukan seluruh keluarga transmutasi natural, dari uranium, thorium dan aktinium. Setiap unsur radioaktif mengeluarkan sinar alfa, beta dan gamma dan berubah menjadi unsur lainnya, semuanya berakhir pada unsur yang stabil, timbal. Dalam penelitian tentang proses ini menjadi nyata bahwa unsur unsur itu ternyata tidak stabil dan homogen, setiap unsur dapat mengandung sejumlah yang mirip secara kimia tetapi terbelah secara fisika dengan cara yang berbeda-beda. Inilah yang disebut dengan isotop.
IV. Teori Kuantum
Sejak masa sebelum masehi, manusia diusik oleh pertanyaan, dari bahan apa dan bagaimana dunia ini tersusun. Demokritos mengemukakan bahwa unsur-unsur tadi dapat dipecah-pecah hingga bagian terkecil yang tak mampu dipecah lagi. Demokritos menamai bagian terkecil ini dengan atom(os). Sampai abad ke-19 pengetahuan tentang atom ini tidak mengalami perkembangan sama sekali. Baru setelah ditemukan elektron oleh Thomson pada tahun 1897, dimulai usaha untuk memikirkan susunan materi terkecil ini.
Model atom roti-kismis dari Thomson mengawali suatu teori atom yang kemudian disempurnakan oleh Rutherford, karena model Thomson tidak mampu menjelaskan fenomena hamburan sinar alfa oleh lempeng emas. Model tata-surya atom Rutherford ternyata tidak dapat menjelaskan kestabilan lintasan elektron pada orbitnya yang bertentangan dengan prinsip elektrodinamika.
Menurut Ernest Rutherford, atom terdiri atas elektron-elektron yang mengitari inti bermuatan positif seperti tata surya. Di sisi lain teori elektrodinamika klasik menyebutkan bahwa elektron yang mengitari inti akan memancarkan energinya secara kontinyu dan akan bergerak spiral menuju inti. Namun hidrogen diketahui dalam keadaan stabil. Penyimpangan ini merupakan kegagalan kuantitatif terburuk dalam sejarah fisika.
Tahun 1900 Max Planck menulis makalah mengenai persamaan spektrum radiasi benda hitam, suatu fenomena yang menurut perhitungan ilmuwan fisika klasik dinamai bencana ultra violet yang akan membutakan mata yang melihat elemen tersebut. Namun prediksi klasik atas spektrum radiasi tersebut terbukti tidak benar sebab kenyataannya tidak demikian. Perumusannya mengandung asumsi yang aneh, yaitu energi yang terpancar hanya dapat berada dalam bongkahan dan bernilai tertentu. Disebut aneh karena dalam teori elektrodinamika klasik, cahaya bisa mempunyai spektrum (energi) kontinu, yakni frekuensi atau energi berapa saja. Asumsi Planck yang aneh ini kemudian terbukti berhasil. Einstein pada tahun 1905 menggunakan ide itu untuk menjelaskan efek fotolistrik.
Menurut asumsi Einstein, cahaya terdiri atas unit-unit atau kuanta yang terpisah-pisah, artinya cahaya (dan semua bentuk radiasi elektromagnetik) mempunyai struktrur korpuskular. Kuanta bukan merupakan akibat proses interaksi antara cahaya dan materi. Pada efek fotolistrik, tubrukan antara cahaya dan permukaan logam menyebabkan satu elektron dipancarkan (emitted) atau dilontarkan (rejected). Eksperimen memperlihatkan bahwa supaya satu elektron dipancarkan, suatu frekuensi minmal tertentu dibutuhkan cahaya yang menubruk itu, yang ternyata adalah ambang frekuensi yang karekteristik untuk logam tersebut.
Tahun 1913 Niels Bohr yang datang ke Inggris untuk berkerja dengan Rutherford untuk memperbaiki model Rutherford dengan mengemukakan postulatnya tentang lintasan stasioner dari elektron dan bahkan sekaligus menjelaskan fenomena radiasi dalam berbagai deret spektrum atom hidrogen. Postulat Bohr ini berkoinsiden dengan prinsip pencatuan energi dari Max Planck yang sukses digunakan untuk menjelaskan spektrum radiasi termal dan sekaligus mengawali sebuah era yang sama sekali baru, yaitu era teori kuantum.
Tahun 1923 Louis de Broglie di dalam disertasinya mengajukan hipotesis : Elektron dan partikel lainnya berperilaku seperti gelombang berdiri. Gelombang tersebut seperti getara tali gitar, dapat terjadi hanya dengan frekuensi tertentu. Ide yang tampak tak wajar ini tak segera diterima oleh para pengujinya, baru setelah Einstein memberikan opini yang mendukung akhirnya tesis tersebut diterima.
Berdasarkan tesis de Broglie, tahun 1925 Erwin Schrodinger merumuskan persamaan gelombang bagi gejala kuantum di atas. Persamaan (mekanika gelmbang) tersebut menjadi kunci utama fisika modern. Perumusan ekivalen dalam bentuk (mekanika) matriks diperoleh oleh Werner Heisenberg dalam waktu yang hampir bersamaan. Dua teori yang tampak berbeda ini sesungguhnya memberikan hasil yang sama. Dengan landasan matematis yang kokoh ini teori kuantum membuat kemajuan yang mencengangkan.
Tahun 1926 Max Born menafsirkan fungsi gelombang dalam suku probabilitas. Ketika seseorang melakukan pengukuran lokasi elektron, probabilitas mendapatkannya di setiap posisi bergantung pada fungsi gelombang di sana. Interpretasi ini mengusulkan bahwa keacakan merupakan karakteristik atau sifat fundamental alam.
Tahun 1927 Heisenberg merumuskan keacakan ini secara matematis dan dikenal dengan prinsip ketidakpastian. Prinsip ini mengatakan bahwa kuantitas fisis akan muncul berpasangan, misalnya momentum-posisi, dan tidak dapat diketahui secara tepat dalam waktu bersamaan.
Einstein yang saat itu sedang berada di puncak kejayaannya sangat tidak senang dengan keacakan tersebut dan menentang teori ini sampai akhir hayatnya. Einstein mengejek Heisenberg dengan mengatakan,” I like to believe that the moon is still there even we dont look at it.” Einstein juga berargumen bahwa Tuhan tidak sedang bermain dadu (God doesnt play dice) ketika mengatur alam semesta ini.
Di tengah perdebatan mengenai kuantum dan interpretasinya, Paul Dirac mengemukakan kuantum relativistik untuk elektron. Teori kuantum relativistik merupakan perkawinan dua konsep fisika non klasik, relativitas khusus dan kuantum. Teori ini memprediksi partikel baru kembaran elektron yang disebut positron. Teori ini terbukti benar ketika Carl Anderson menemukan partikel tersebut pada tahun 1932 ketika mengukur sinar kosmik di dalam kamar kabut di Caltech.
Dirac menunjukkan bahwa bila elektron bertumbukkan dengan prositron, keduanya akan saling meniadakan sambil membebaskan energi menurut persamaan Einstein yang terkenal, E = m.c2.
Peranan Planck sebagai inagurator jenis ilmu fisika yang sama sekali baru, diakui oleh Einstein yang mencalonkannya sebagai penerima Hadiah Nobel atas jasanya meletakkan dasar teori kuantum.
Ketika menerima Hadiah Nobel, Planck mengatakan, Ada dua kemungkinan, kuantum adalah suatu besaran fiktif dan seluruh deduksi hukum radiasi hanyalah suatu ilusi atau deduksi hukum itu berdasarkan suatu ide fisika sejati. Kemudian Planck menjelaskan bahwa bila yang terakhir benar, maka kuantum akan memainkan peranan fundamental dalam fisika.
Tentang Max Planck, Max Born menyatakan bahwa ia tidak mempunyai keraguan bahwa Teori Kuantum Planck adalah peristiwa yang sebanding dengn revolusi ilmiah yang dicetuskan Galileo dan Newton, serta Maxwell, Kejadian ketika Planck mengemukakan konsepnya yang revolusioner mengenai energi atom atau kuanta menurut Born begitu menentukan untuk perkembangan sains, sehingga dianggap sebagai titik pemisah antara ilmu fisika klasik dengan ilmu fisika modern/kuantum.
V. Theory of Everything
Einstein pernah berusaha untuk memadukan gaya-gaya alam yang telah dikenal di awal abad ke-20, yaitu elektromagnetik dan gravitasi. Namun sayang sekali ambisi ini tidak kesampaian sampai akhir hayatnya.
Pekerjaan yang telah dimulai Einstein ini tidak berlalu bergitu saja. Namun banyak yang sudah dikerjakan penerusnya. Mereka berusaha untuk dapat memadukan semua teori agung fisika diantaranya teori relativitas dan mekanika kuantum menjadi hanya sebuah teori saja. Ini adalah sebuah superteori yang disebut Theory of Everything (teori tentang segala sesuatu).
Jauh sebelumnya, orang pada zaman Newton juga telah menggunakan konsep Theory of Everything. Ketika Newton mencetuskan teorinya (teori gravitasi dan 3 hukum mekanika) pada abad ke-17, orang mengira bahwa semua gerak benda yang ada di alam dapat dijelaskan dengan hukum Newton. Walaupun hukum Newton sukses dalam menjelaskan gerak planet, tetapi ia tak mampu menjelaskan interaksi yang terdapat dalam atom. Selain itu bagaimana ruang dan waktu terbentuk tak dapat dijelaskan dalam kerangka teori itu. Dari sini orang berpendapat bahwa teori Newton tidak lengkap untuk mempresentasikan Theory of Everything.
Ketika partikel seperti elektron, proton, neutron dan neutrino ditemuka, mimpi orang tentang Theory of Everything buyar. Neutron yang tidak bermuatan listrik, ternyata dapat berinteraksi dengan proton, sehingga ada interaksi lain selain interaksi elektromagnetik. Interaksi ini dikenal kemudian sebagai interaksi kuat. Kemudian orang juga menemukan jenis interaksi lain yang disebut interaksi lemah. Sehingga interaksi yang diketahui ada 4, yaitu interaksi lemah, kuat, elektromagnetik dan gravitasi.
Dari cerita itu, masalah Theory of Everything beralih pada mencari teori perpaduan keempat interaksi di atas. Sampai saat ini, para ilmuwan telah berhasil menggabungkan interaksi lemah dan elektromagentik. Partikel perantara (W dan Z) sebagai mediator dalam teori perpaduan ini sudah dideteksi dengan menggunakan akselerator partikel di Eropa. Teori Medan Gabungan (Grand Unified Theory) berusaha untuk memadukan interaksi lemah, kuat dan elektromagnetik. Pembuktian teori medan gabungan ini antara lain berasal dari peluruhan proton. Sampai saat ini belum ada konfirmasi akhir tentang adanya peluruhan proton secara spontan.
Untuk memadukan keempat interaksi di atas, yang diyakini terjadi pada awal pembentukan jagat raya, para ilmuwan mengusulkan teori superstring. Superstring adalah teori tentang semesta dimana penyusun dasar materi dan energi bukanlah titik melainkan tali-tali super kecil (string). Tali-tali itu sedemikian reniknya sehingga bila 1033 tali dijajarkan, panjangnya hanya satu sentimeter saja. Teori ini mengambarkan semesta sepuluh dimensi dengan sembilan dimensi ruang dan satu dimensi waktu.
Teori superstring hanya akan merupakan keindahan matematis jika tak ada cara untuk mereduksi semesta sepuluh dimensi menjadi dunia nyata empat dimensi yang kita tinggali ini. Secara teoritis teori superstring dapat dijadikan kandidat sebagai Theory of Everything, walaupun begitu, secara eksperimental masih jauh dari dari kenyataan. Ada yang berpendapat bahwa : kemajuan memang terus berjalan, namun superstring ini hanyalah sebuah langkah dari langkah-langkah teramat panjang nan melelahkan untuk sampai pada sebuah super teori.
Tetapi fisika tidak akan berakhir dengan dirumuskannya Theory of Everything ini, karena Theory of Everything hanyalah sebuah teori yang berisi penjelasan dan bukan penjelasan itu sendiri. Mungkin sesuai dengan ucapan Stephen Hawking yang berbunyi, « Tuhan tidak hanya senang bermain dadu, tetapi Dia juga senang bersembunyi. »


BEBERAPA TREN DAN POLA UMUM PERKEMBANGAN SAINS ABAD KE-20

Abad ke-20 merupakan abad yang dipenuhi dengan dinamika sejarah dan kehidupan. Sejumlah peristiwa besar yang melibatkan emosi dan pengaruh kuat terjadi pada abad ini. Dalam waktu hanya sekitar 30 tahun telah terjadi dua kali perang dunia yang melibatkan berbagai negara dan kawasan. Saat inipun dunia masih dibayang-bayangi ancaman perang dunia berikutnya. Kolonialisme dan imperialisme dalam berbagai bentuknya terjadi di banyak negara pada berbagai kawasan. Sekaligus upaya kemerdekaan suatu bangsa juga terus bergejolak bahkan hingga akhir abad ini. Keseluruhan peristiwa tersebut tidak terlepas dari pengaruh perkembangan sains.
Sejalan dengan dinamika politik tersebut, berbagai teori sains dan penemuan besar dihasilkan pada abad ini. Teori Evolusi Darwin menemui bentuk setelah mendapat dukungan Neo-Darwinisme abad 20. Teori fisika klasik ditumbangkan oleh Teori Relativitas Einstein. Konsepsi tentang atom dalam pandangan fisika dan kimia klasik diruntuhkan oleh Teori Kuantum yang dibangun oleh beberapa Teori Modern. Penemuan-penemuan genetika mendorong kemajuan biologi molekuler dan menggairahkan kembali pengembangan ilmu-ilmu biologi yang semula dianggap sudah hampir selesai. Teknologi yang kemudian berkembang semakin mempercepat laju perkembangan sains dan banyak merubah cara pandang dan prilaku manusia dalam kehidupan. Penemuan-penemuan listirk dan komunikasi, teknologi transportasi dan penerbangan antariksa, informatika dan sibernetika semakin memperdekat jarak dan memperpendek waktu tempuh kehidupan. Dunia kemudian seakan terbentuk menjadi sebuah kampung besar tanpa batas-batas demografis (The Borderless World).

Beberapa Trend dan Fenomena Perkembangan Sains Abad ke-20
1. Relasi Sains & Industri: Dominasi Teknologi dalam kehidupan dan Zona Mabuk Teknologi
Sejak masa-masa revolusi industri, perkembangan sains didorong oleh kepentingan untuk pengembangan teknologi dan pemenuhan kebutuhan kehidupan yang mudah dan cepat. Penemuan-penemuan sains pada gilirannya segera diikuti dengan upaya untuk memproduksi teknologi yang berbasis penemuan sains itu secara massal. Penemuan-penemuan Thomas Alva Edison dalam hal kelistrikan, telegraf, gambar bergerak, dan perekaman suara telah mendorong berdirinya industri modern berbasis listrik. Berikutnya otomatisasi dalam berbagai bidang segera menjadi trend berikutnya. Selanjutnya, teknologi memiliki peranan dominan dalam kehidupan kontemporer, dan menjadi bagian kehidupan yang tidak bisa dilepaskan. Namun kemudian, teknologi menjadi pisau bermata dua, yang tidak hanya memberi banyak manfaat, tetapi juga dampak negatif yang sulit dihindari. Manusia kemudian seakan sulit melepaskan diri dari jeratan teknologi, dan banyak kehilangan makna dari kehidupan dan teknologi itu sendiri. John Nasibitt mengungkap fenomena tersebut sebagai Zona Mabuk Teknologi yang dilematis.
2. Monopoli dan Imperialisme
Pengembangan teknologi memungkinkan manusia melakukan ekspansi perekonomian melampaui batas-batas negara. Pemenuhan bahan baku industri dan perlunya daerah pasar bagi hasil-hasil industri menyebabkan perlunya perluasan pengaruh industri dan peran negara dalam menguasai berbagai faktor produksi. Nafsu kekuasaan turut menyelinap sehingga mendorong lahirnya monopoli dan imperialisme terhadap negara dan bangsa lain. Sebagai kelanjutan dari imperialisme yang telah berlangsung sebelumnya, imperilisme pada abad ke-20 ditopang oleh kekuatan sains dan teknologi.
3. Relasi Sains dan Industri Militer (Peperangan)
Perkembangan sains segera diikuti oleh riset-riset militer, untuk mencari kemungkinan pemanfaatan berbagai penemuan dan teori sains bagi kejayaan suatu negara dalam aspek militer. Perlombaan senjata memasuki jalur cepat dan didukung oleh para ilmuwan. Teori relativitas Einstein kemudian dikembangkan menjadi bom atom, dan digunakan pada perang dunia ke-2. Melengkapi senjata kimia dan biologis, selepas perang dingin, perlombaan senjata memasuki tahap yang lebih membahayakan dengan penemuan rudal dan nuklir.

4. Astrofisika dan Teori Penciptaan Alam Semesta
Selama berabad-abad manusia mencari jawab dari pertanyaan tentang asal-usul alam semesta. Banyak model dan teori yang telah diajukan untuk menjawab pertanyaan tersebut. Sampai awal abad ke-20 model alam semesta tak terbatas masih sangat populer. Menurut model ini, alam semesta tidak memiliki awal maupun akhir. Alam semseta tidak pernah diciptakan dari tidak ada menjadi ada, tidak pula akan hancur. Menurut teori ini, yang juga menjadi dasar dari filosofi materialis, alam semesta memiliki struktur yang statis. Namun, pada tahun 1920-an terjadi lompatan besar dalam bidang astronomi. Pada tahun 1922, seorang ahli Fisika Rusia, Alexandre Friedmann menemukan bahwa alam semesta tidak memiliki struktur yang statis. Berpijak pada teori relativitas Einstein, Friedmann menghitung bahwa sebuah impuls kecil saja dapat mengakibatkan alam semesta meluas atau mengkerut. Georges Lemaitre adalah orang yang pertama menyadari pentingnya hitungan ini. Hitungan ini membawanya sampai pada kesimpulan bahwa alam semesta memiliki awal dan terus menerus mengembang semenjak permulaan sebagai akibat dari sesuatu yang telah memicunya. Dia juga menyatakan bahwa tingkat radiasi dapat digunakan sebagai ukuran akibat dari sesuatu itu. Pemikiran teoritis kedua ilmuwan tersebut, semakin penting manakala pada 1929 seorang astronom Amerika Edwin Hubble, dengan teropongnya, menemukan bahwa bintang-bintang memancarkan cahaya geser merah (red shift) tergantung pada jarak mereka. Dia menemukan bahwa cahaya bintang-bintang itu bergeser ke arah ujung merah spektrum , dan bahwa pergeseran itu berkaitan langsung dengan dengan jarak bintang-bintang dari bumi. Penemuan Hubble ini mengguncang teori steady state (keadaan tetap) dan memunculkan teori Big Bang. Penemuan-penemuan berikutnya memperkuat teori ini. Pada tahun 1948, George Gamov mengembangkan lebih jauh perhitungan Lemaitre dan menghasilkan gagasan baru mengenai alam semesta. Jika alam semesta terbentuk dalam sebuah ledakan besar yang tiba-tiba, maka harus ada sejumlah tertentu radiasi yang ditinggalkannya dari ledakan tersebut. Radiasi ini harus bisa dideteksi dan harus sama di seluruh alam semesta. Pada tahun 1965, bukti dari pengamatan dari dugaan Gamov ditemukan oleh Arno Penzias dan Robert Wilson yang menemukan sebentuk radiasi yang selama ini tidak teramati dan disebut radiasi latar belakang kosmik; radiasi ini tidak seperti apapun yang berasal dari seluruh alam semesta karena luar biasa seragam. Radiasi ini tidak dibatasi dan tersebar merata di seluruh jagat raya. Kemudian, pada tahun 1989, George Smoot dan tim NASA-nya meluncurkan sebuah satelit COBE (Cosmic background Emission Explorer) yang berhasil mendeteksi dan menegaskan tingkat radiasi yang dilaporkan oleh Penzias dan Wilson. COBE berhasil memotret sisa-sisa nyata dari Big Bang dan memaksa para ilmuwan untuk mengakui kebenaran teori Big Bang ini.
5. Penguatan Bioetika sebagai disiplin ilmu
Bioetika bermula sebagai bidang spesialisasi pada 1960-an, sebagai tanggapan atas tantangan yang belum pernah ada sebelumnya, yang diciptakan oleh kemajuan dibidang teknologi pendukung kehidupan dan teknologi reproduksi. Sebelumnya Kode Nuremberg untuk etika penelitian telah dikembangkan pada akhir Perang Dunia II sebagai tanggapan atas dilakukannya percobaan memuakkan yang menggunakan manusia sebagai kelinci percobaan yang dilakukan di Jerman pada masa Nazisme Hitler. Keberadaan bioetika ini menjadi semakin penting guna mengantisipasi perkembangan pesat biologi molekuler dan rekayasa genetika. Pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar kloning manusia dan Proyek Genom Manusia akan menjadi lebih bermakna ketika mempertimbangkan aspek-aspek bioetika.
6. Penguatan Relasi Sains dan Agama (Spiritualisasi Sains)
Teori evolusi telah menimbulkan banyak kontroversi di kalangan agamawan sejak kemunculan buku pertamanya The Origin of Species. Sejalan dengan berkembangnya pemikiran teori evolusi Darwin tersebut, di kalangan agamawan juga muncul reaksi sistematis yang semakin menguat. Hal ini ini juga sekaligus mendorong sebagian ilmuwan menginterpretasikan peran nilai dan moral agama dalam pengembangan sains. Kajian-kajian tentang relasi sains dan agama banyak bermunculan dan menjadi kajian interdisiplin tersendiri baik di Eropa maupun Amerika. Wacana kajian ini menjadi penting mengingat agama dan sains merupakan dua di antara kekuatan-kekuatan utama yang mempengaruhi nasib sejarah kemanusiaan dulu, kini, dan masa depan. Sebab, seperti ditengarai oleh Whitehead,” Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa masa depan sejarah ditentukan oleh sikap generasi sekarang terhadap hubungan antara agama dan sains.
Diantara kajian penting dalam relasi sains dan agama ini terdapat karya penting dari Ian G. Barbour yang mencoba memetakan empat madzhab tentang hubungan sains dan agama: Konflik, Independensi, Dialog, dan Integrasi. Pemetaan yang dilakukan Barbour tersebut, meski mengandung simplifikasi, tampak cukup memadai untuk membaca lanskap isu, gagasan, usulan solusi yang terbentang dalam wacana seputar hubungan agama dan sains ini. Barbour kemudian menerapkan tipologi empat madzhab ini ke dalam disiplin–disiplin keilmuan yang sering memunculkan isu-isu krusial dalam konteks hubungan sains dan agama: evolusi, kosmologi, fisika kuantum, genetika, dan neurosains. Di kalangan ilmuwan muslim sendiri muncul arus baru islamisasi sains dan pengetahuan dalam berbagai kerangka yang beragam.

7. Penguatan Paradigma Sistemik / Holistik& Organismik dalam Sains
Penemuan beberapa teori, konsep dan temuan pokok sains mutakhir, satu per satu menumbangkan asumsi-asumsi dan prinsip-prinsip dasar pandangan dunia mekanistik-reduksionis atau yang sering disebut paradgima Cartesian-Newtonian. Enam asumsi paradigma Cartesian-Newtonian terbukti tidak lagi memadai sebagai sebuah cara pandang untuk memahami realitas. Tentu saja, masing-masing teori dan temuan sains mutakhir tidak sekaligus merubuhkan asumsi-asumsi paradigma Cartesian-Newtonian. Ada teori sains yang menolak dualisme, materialisme, dan mekanistik seperti teori kuantum; ada pula teori yang menolak berpikir linier-reduksionis seperti teori dissipative structures; dan seterusnya. Masing-masing teori/temuan sains itu menuntut, mengajukan atau menyarankan sebuah cara pandang lain agar teori/temuan itu dapat dipahami dalam skema paradigma yang dibangun. Dengan demikian, setiap teori dan temuan sains yang dikemukakan memiliki konsekuensi-konsekuensi dan implikasi filosofis yang mengarah pada rekonstruksi paradigma baru dalam sains yang bersifat holitistik. Masing-masing implikasi filosofis tersebut dapat diringkaskan seperti pada tabel berikut:

Teori / Konsep Gagasan Pokok Implikasi Filosofis
Teori Relativitas Kontinum ruang-waktu
Relativitas Umum Alam semesta yang dinamis
Primasi relasi terhadap entitas
Teori Kuantum Prinsip Ketidakpastian
Prinsip Komplementaris Cara pandang indeterminisme
Kesatuan subjek-objek
Cara pandang holistik
Teori Fisika Bootstrap Pola dan Tatanan Alam sebagai Jaringan
Dekonstruksi entitas, substansi tetap
Dissipative stuctures Self Organization
Kompleksitas Berpikir pola, tatanan
Berpikir non linier, sistemik
Jembatan sistem hidup-tak hidup
Biologi molekuler, genetika Organisme biologis
Informasi genetis
Eksistensi riil jiwa Jembatan fisika-biologi
Interaksi fikiran dan tubuh
Dua aspek dari satu proses
Teori evolusi Inner becoming, kreatif
Evolutionary design
Dialektika Acak-Design Organisme memiliki jiwa, daya hidup
Perubahan diatas implicate order
Alam kompleks, berpikir non linier
Alam selalu berproses



DAFTAR BACAAN
Ash-Shadiqi, Muhammad. 2003. Membela Tuhan: Argumen Filosofis, Teologis dan Ilmiah ( Al-Hiwār Al-Falsafy Bayn al-Ilāhiyyin wa al-Māddiyyin). Terjemahan Umar Bukhori dkk. Yogyakarta: Qirtas.
Ashford, TA. 1960. From Atoms to Stars, The Physical Science. Holt, Rinehart dan Winston Ind. New York.
Barbour, IG. 2002. Juru Bicara Tuhan (When Science Meets Religions: Enemies, Strangers, or Partners ?). Terjemahan ER. Muhammad. Bandung: Mizan
Bernal, J.D. (1981),. Science in History. Vol 3: The Natural Sciences in Our Times. Massachussets: MIT Press
Bernal, J.D. (1981),. Science in History. Vol 4: The Social Sciences: Conclusion. Massachussets: MIT Press
Capra, F. 2001. The Tao of Physics: Menyingkap Paralelisme Fisika Modern dan Mistisisme Timur (The Tao of Physics: An Exploration of the Parallels between Modern Physics and Eastern Mysticism). Terjemahan Pipiet Maizier. Yogyakarta: Jalasutra
Capra, F. 2002. Jaring-jaring Kehidupan: Visi Baru Epistemologi dan Kehidupan (The Web of Life: A New Synthesis of Mind and Matter). Cet. Ke-2. Terjemahan Saut Pasaribu. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru
Coleman, J.A. 1958. Relativity for the Layman. The New American Libraty. New York.
Djou, I.I. 2000. Revolusi Kuantum dan Milenium Baru. Kompas. 20 November 2000. Jakarta
Mason, S. F. (1965). A History of the Sciences. New York: Collier Books
Naisbitt, John, Nana Nasibitt & Douglass Philips. 2002. High Tech-High Touch: Pencarian Makna di Tengah Perkembangan Pesat Teknologi (High Tech-High Touch: Technology and Our Search for Meaning). Cet. Ke-3. Terjemahan Dian R. Basuki. Bandung: Mizan
Nasution, A.H. 1999. Pengantar Ke Filsafat Sains. Cet. ke-3. Bogor: Litera AntarNusa.
Poedjiadi, A. 1987, Sejarah dan Filsafat Sains, Depdikbud, Jakarta.
Purwanto, A. 2003, 103 Tahun Drama Kuantum, Kompas. 13 Agustus 2003. Jakarta.
Semiawan, C. dkk 1988. Dimensi Kreatif dalam Filsafat Ilmu. Remadja Karya. Bandung.
Setiawan, S. 1991. Theory of Everything. Andi Offset. Yogyakarta.
Sexton, E. 2003. Seri Posmodern: Dawkins dan The Selfish Gene (Dawkins and The Selfish Gene). Terjemahan Helmi Mustofa. Yogyakarta: Jendela.
Smolicz, J.J. 1984. The Changing Image of Science. University of the Philippinas. Quezon City.
Soemodimedjo, P dan Poedjiadi, A. (2001). Kimia dari Zaman ke Zaman. Bandung: Yayasan Cenderawasih.
Soetrisno, Edi. (tt). Buku Pintar 50 Peraih Nobel Kimia. Jakarta: Penerbit Inovasi
Surya, Yohanes. 2003. Teori Ketidakpastian Heisenberg. Kompas. 6 Juni 2003.
Utama, J.A. 2002. 100 Tahun Dirac, Si Jenius Pertapa. Kompas. 16 Agustus 2002.
Ward, Keith. 2003. Dan Tuhan Tidak Bermain Dadu (God, Chance and Necessity). Cet. Ke-3. Terjemahan Larasmoyo. Bandung: Mizan
Yahya, Harun. 2003. Penciptaan Alam Raya (The Creation of The Universe). Terjemahan Ary Nilandari. Bandung: Dzikra
Wiharjdo, Liek. 2000. Seabad Fisika Kuantum. Kompas. 11 November 2000. Jakarta.