Sunday, July 29, 2012

Masalah Perbukuan di Indonesia; Kasus BSE

MASALAH PERBUKUAN DI INDONESIA:
STUDI KASUS KONTROVERSI BUKU SEKOLAH ELEKTORONIK



Latar Belakang:
Pada tanggal 20 Agustus 2008, Depdiknas meluncurkan program Situs Buku Sekolah Elektronik (BSE) atau E-Book yang mencakup sejumlah empat ratus tujuh (407) judul buku Buku-buku teks pelajaran ini telah dinilai kelayakan pakainya oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) dan telah ditetapkan sebagai Buku Teks pelajaran yang memenuhi syarat kelayakan untuk digunakan dalam pembelajaran melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 46 Tahun 2007, Permendiknas Nomor 12 Tahun 2008, Permendiknas Nomor 34 Tahun 2008, dan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2008.
Buku-buku teks pelajaran yang telah dimiliki hak ciptanya oleh Depdiknas ini dapat digandakan, dicetak, difotokopi, dialihmediakan, dan/atau diperdagangkan oleh perseorangan, kelompok orang, dan/atau badan hukum dalam rangka menjamin akses dan harga buku yang terjangkau oleh masyarakat. Masyarakat dapat pula mengunduh (down load) langsung dari internet jika memiliki perangkat komputer yang tersambung dengan internet, serta menyimpan file buku teks pelajarann tersebut. Untuk penggandaan yang bersifat komersial, harga penjualannya harus memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Pemerintah. Melalui Program Masal Buku Murah ini, buku teks pelajaran lebih mudah diakses sehingga peserta didik dan pendidik di seluruh Indonesia maupun sekolah di luar negeri dapat memanfaatkannya sebagai sumber belajar yang bermutu dan terjangkau.
Tak urung, kebijakan pemerintah tersebut segera memicu kontroveri dan memunculkan kembali perdebatan yang sebetulnya sudah berlangsung jauh-jauh hari sebelum program ini diluncurkan. Langkah pemerintah menelurkan kebijakan Buku Sekolah ataupun Program Masal Buku Murah ini sesungguhnya tidak dapat dilepaskan dari perkembangan permasalah perbukuan di Indonesia yang telah berlangsung selama ini. Karena itu, penulis mencoba meneropong permasalahan perbukuan di atas dalam rangka mencari titik temu yang lebih produktif bagi perkembangan pendidikan di Indonesia. Dalam kerangka itulah, pada tulisan ini penulis mencoba mendiskusikan kembali dengan menggunakan paradigma evaluasi kebijakan yang berbasis pada model CIPP.
A. PERSEPKTIF BUKU SEKOLAH DAN PERBUKUAN DI INDONESIA

BUKU SEBAGAI SUMBER BELAJAR UTAMA
Tak dapat dipungkiri, buku merupakan sumber belajaƗ yang utama dan menjadi sarana penting untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Buku sekolah, khususnya buku pelajaran, merupakan media pembelajaran yang memiliki peran dominan di kelas dan menjadi bagian sentral dalam sistem pendidikan (Patrick (1988) dan Altbach (1991) dalam Supriyadi, 2000). Karena buku merupakan alat yang penting untuk menyampaikan materi kurikulum, maka buku sekolah menududuki peranan sentral pada semua jenjang pendidikan. Hasil penelitian Supriyadi (1997) yang dilakukan terhadap 867 SD dan MI di Indonesia mencatat bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku pelajaran di SD berkorelasi positif secara signifikan den hasil belajarnya. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi akses siswa terhadap buku pelakaran, maka semakin tinggi pula hasil belajarnya. Oleh karena itu, setiap upaya untuk meningkatkan akses terhadap buku akan meningkatkan hasil belajar siswa. Hasil studi tersebut sebetulnya konsisten dengan sinyalemen World Bank (1989) yang menegaskan bahwa tingkat kepemilikan siswa akan buku dan fasilitas sekola lainnya berkorelasi positif dengan prestasi belajarnya.
Karena alasan tersebut di atas, maka pemerintah, sebagaimana juga banyak negara lain di dunia, melakukan investasi besar-besaran dan terkadang intervensi- untuk penyediaan buku sekolah. Hingga tahun 2000 tidak kurang dari US$ 355,2 juta telah dialokasikan untuk pengadaan buku SD dan SLTP untuk mencapai rasio 1 buku : 1 siswa.
Di Indonesia terdapat berbagai macam buku sekolah. Buku-buku sekolah tersebut dipergunakan baik sebagai buku pegangan utama siswa dan guru, sebagai suplemen, LKS (lembar kerja siswa), dan buku sumber. serta buku bacaan. Dilihat dari sasarang jenjang kependidikannya terdapat buku sekolah yang diperuntukkan bagi siswa SD, SLTP, dan SLTA. Sementara itu, pada masing-masing jenjang terdapat sejumlah mata pelajaran yang berbeda-beda. Di SD saja terdapat tidak kurang dari 10 mata pelajaran, yang dapat bertambah jumlahnya dengan mata pelajaran muatan lokal seperti bahasa daerah. Di tingkat SLTP dan jumlah mata pelajaran bertambah dengan dapat dipisahnya IPA dan IPS menjadi mata pelajaran yang lebih spesifik. Mengingatnya banyaknya macam buku sekolah, Supriyadi (2000) cenderung membagi buku-buku tersebut secara fungsional (berdasarkan fungsinya dalam pembelajaran) menjadi beberapa bentuk :
1. Buku Pelajaran atau Buku Teks
2. Buku Bacaan
3. Buku Sumber
4. Buku Pegangan Guru

Di SD buku bacaan untuk anak SD dibedakan dari buku sumber untuk guru dan siswa. DI SLTP dan SLTA buku bacaan dan buku sumber sering disebut buku perpustakaan. Buku teks terdiri atas buku teks pokok dan buku teks pelengkap. Buku teks pokok pada masa lalu dikenal juga sebagai buku paket. Sedangkan buku teks pelengkap biasanya biasanya berupa buku terbitan swasta yang dibeli oleh pemerintah ataupun sekolah untuk dipergunakan sebagai pelengkap buku paket. Pada masa lalu buku paket diedarkan secara cuma-cuma ke sekolah. Buku bacaan adalah buku yang dimaksudkan untuk mendorong minat baca siswa. Untuk SD, buku-buku itu sebagian besar disediakan oleh pemerintah melalui Proyek Penyediaan Buku Bacaan Anak SD. Buku sumber adalah buku-buku yang dijadikan referensi oleh guru maupun siswa, terdiri atas kamus, ensiklopedi, dan atlas/peta. Sebagian buku sumber juga diadakan oleh proyek pemerintah, dan sebagian lainnya disumbangkan oleh masyarakat. Buku pegangan guru adalah buku yang dimaksudkan untuk memberikan pedoman kepada guru dalam mengelola proses belajar mengajar.

PERMASALAHAN UMUM PERBUKUAN
Buku-buku sekolah di Indonesia yang meliputi buku pelajaran, buku bacaan, dan buku sumber menguasai sekitar 65 % pangsa pasar buku di Indonesia. Populasi yang dilayaninya mencapai lebih dari 44,8 juta siwa dan lebih dari 2,6 guru seluruh jenjang Negeri dan Swasta (Data Depdiknas, 2004). Setiap tahunnya ratusan milyar rupiah dana dialokasikan oleh pemerintah untuk pengadaan buku. Tentunya, dana yang dibelanjakan oleh orang tua siswa untuk membeli buku-buku pelajaran tidak kalah besarnya dengan anggaran pemerintah. Dengan potensi pasar perbukuan yang sedemikian besar secara keseluruhan tentunya juga menyimpan potensi permasalahan yang tidak sederhana.
Secara keseluruhan permasalahan perbukuan di Indonesia tergolong sangat kompleks, kompleks karena melibatkan berbagai komponen dalam masyarakat, mulai dari kalangan penerbit, penulis buku, distributor buku, guru dan birokrasi sekolah, pemerintah daerah dan pusat, serta kalangan lain yang terkait langsung ataupun tidak langsung dengan masalah perbukuan di Indonesia. Peluncuran buku sekolah elektronik menambah stakeholder baru dalam perbukuan, yaitu bisnis informatika. Cakupan permasalahannya pun menjadi tidak sesederhana yang dibayangkan, karena meliputi aspek produksi, kualitas isi, sistem pengadaan dan distribusi, sistem penilaian buku, tingkat perekonomian masyarakat, daya beli buku, eksistensi penulis buku, regulasi pemerintah berkaitan dengan bahan baku kertas, dan lain sebagainya. Kompleksitas permasalahan perbukuan tersebut diperparah lagi oleh banyaknya benturan kepentingan antara berbagai stakeholders perbukuan.
Namun demikian, dalam tulisan yang serba singkat, penulis membatasi beberapa permasalahan umum yang oleh penulis dianggap penting bagi pemenuhan kebutuhan buku sekolah. Tentunya, tulisan ini tidak berpretensi untuk menihilkan aspek permasalahan lainnya. Setidaknya, permasalahanan tersebut dapat dikategorikan pada beberapa permasalahan berikut:
1. Kualitas Buku Sekolah
2. Distribusi buku
3. Daya beli masyarakat terhadap buku sekolah
4. Masa pemakaian buku sekolah

1. Kualitas Buku Sekolah
Buku-buku sekolah di Indonesia sangat beragam jenis dan kualitasnya. Permasalahan kualitas buku tentu saja bukan permasalahan yang sederhana, karena berkaitan dengan kualitas penulisan buku, sistem penilaian buku, dan berbagai regulasi lainnya. Kualitas buku berkaitan dengan kualitas fisik yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor produksi, dan kualitas isi buku yang juga dipengaruhi oleh banyak faktor. Berkaitan dengan kualitas buku sekolah yang sangat bervariasi tentunya menjadi persoalan tersendiri. Berkaitan dengan pengadaan, persoalan yang dihadapi adalah bagaimana menyediakan buku-buku sekolah yang berkualitas dalam jumlah yang besar untuk semua atau sebagian besar siswa, sehingga penguasaan siswa terhadap materi pelajaran, yang tercermin pada prestasi belajarnya, dapat meningkat. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas buku sekolah namun masih terdapat beberapa beberapa kelemahan yang terkait dengan kualitas isi buku sekolah.
Sinyalemen Utomo Dananjaya (Nopember 2008) yang melaporkan hasil penelitian tentang kualitas buku sekolah menunjukkan bahwa masih terdapat beberapa kelemahan yang menyangkut aspek pedagogis dari materi isi buku sekolah, dan bahkan ditemukan pula adanya konten materi yang dapat dikatakan tertinggal dari perkembangan ilmu pengetahuan terkini. Kualitas isi buku juga secara tidak langsung berkaitan dengan remunerasi terhadap penulis, sistem rabat yang menjadi acuan penerbit, regulasi harga bahan baku kertas, dan lain sebagainya.
2. Distribusi buku sekolah memiliki rantai distribusi yang cukup pelik karena melibatkan penerbit, distributor buku, toko buku, guru dan sekolah, serta pemerintah pusat dan daerah. Seringkali terjadi konflik antara berbagai kalangan tersebut. Selama ini buku-buku sekolah diperoleh siswa melalui berbagai cara. Sekolah dan pemerintah turut terlibat mempengaruhi distribusi buku mulai dari sistem penilaian buku, pemberian rekomendasi buku layak pakai, dan penjualan buku di sekolah baik melalui sekolah, guru, maupun koperasi sekolah. Penerbit sendiri, di samping memiliki jaringan sampai ke sekolah juga memiliki jaringan distribusi dengan kalangan distributor dan toko buku. Tak kalah pentingnya, maraknya pembajakan terhadap buku-buku sekolah yang banyak beredar.
3. Daya beli masyarakat terhadap buku sekolah menyangkut kondisi perekonomian orang tua siswa dan harga buku yang dipengaruhi oleh faktor produksi dan distibusi. Tentunya, juga terdapat perbedaan daya beli masyarakat pedesaan dan perkotaan. Siswa SD/MI di pedesaan, daerah terpencil dan di sekolah swasta memiliki akses yang paling rendah terhadap buku pelajaran, termasuk buku paket yang disediakan oleh pemerintah. Orang tua siswa menanggung beban yang tidak ringan untuk membeli buku pelajaran bagi anak-anaknya. Sebagian orang tua membeli buku secara sukarela sebagai wujud tanggung jawab terhadap anaknya. Sebagian lainnya membeli buku secara terpaksa karena keterbatasan kondisi ekonomi. Menurut hasil penelitian Supriyadi (2000) diperoleh data bahwa bagi keluarga berpenghasilan rendah, biaya pembelian buku, LKS dan alat tulis selama satu catur wulan mencapai 30-35 % dari total pendapatan keluarga per bulan. Sedangkan bagi keluarga mampu hanya 15-15 %. Bagi keluarga di pedesaan, pembelian buku pelajaran merupakan beban terbesar yang harus mereka tanggung, Sementara di perkotaan, alokasi pembelian buku pelajaran masih lebih rendah dari biaya yang dikeluarkan untuk pembelian alat tulis. Hal ini menyiratkan lemahnya daya beli buku pelajaran siswa di pedesaan.
4. Masa Pakai buku sekolah selama ini cenderung tidak dapat didefinitifkan secara pasti. Seringkali buku pelajaran yang telah digunakan tidak dapat diwariskan pada siswa lainnya. Terlebih dengan sinyalemen di masyrakat “ganti tahun ganti buku”. Terdapat indikasi kuat bahwa aspek ini dipengaruhi juga oleh konflik kepentingan penjualan buku di sekolah.

Perkembangan Kebijakan Perbukuan di Indonesia
Penuntasan wajib belajar mutlak membutuhkan ketersediaan buku pelajaran yang berkualitas. Kenyataannya, pemerintah sendiri tak mampu melaksanakan tanggungjawabnya. Setidaknya hal tersebut bisa terlihat dari dari kebijakan perbukuan termasuk dukungan pembiayaannya. Selama ini kebijakan buku pelajaran sangat dipengaruhi oleh dimensi politik dan ekonomi. Pada era orde baru, pemenuhan buku pelajaran ditanggung pemerintah dan berlaku turun temurun, namun hal itu dilakukan karena adanya kepentingan hegemoni dan indoktrinasi pemerintah terhadap masyarakat. Pengadaan buku pelajaran menjadi hak monopoli pemerintah bekerjasama dengan Balai Pustaka.

Tabel. Kebijakan Perbukuan di Indonesia

Pola pengelolaan buku berganti memasuki tahun 90-an, monopoli Balai Pustaka dihapus dan tata niaga buku diserahkan kepada mekanisme pasar untuk mendorong adanya kompetisi yang adil bagi para penerbit melalui tender. Sumber pendanaan dilakukan pemerintah melalui utang kepada Bank Dunia. Model kebijakan yang berjalan hingga awal otonomi daerah terjadi di indonesia sangat berdampak pada beban biaya yang ditanggung orang tua siswa, karena buku pelajaran sering berganti dan tidak bisa digunakan secara turun temurun.
Pada era ini berbagai masalah penyimpangan mulai banyak terjadi, mulai dari praktek penyuapan penerbit kepada pemerintah, pembelian kertas yang diarahkan kepada perusahaan tertentu hingga maraknya jual beli buku di sekolah. Belakangan ketika informasi tentang berbagai penyimpangan semakin menjadi konsumsi publik, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri No 11 Tahun 2005 tentang larangan praktek jual beli buku di sekolah sekaligus menetapkan buku berstandarisasi nasional yang dapat berlaku selama lima tahun. Untuk mendukung regulasi tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan BOS khusus buku dengan pendanaan sebesar 900 miliar. Dana ini akan digunakan untuk pembelian buku yang dibagikan secara gratis kepada sekitar 40 juta siswa dengan asumsi nilai buku sebesar Rp. 22.000,00/ siswa. Sayangnya, ketika kebijakan ini belum maksimal dilaksanakan, terjadi krisis minyak yang menyebabkan harga minyak dunia melambung tinggi. Pemerintah yang panik akibat terkena dampak krisis kemudian melakukan pengetatan APBN, semua anggaran departemen termasuk Depdiknas dikurangi. Kondisi inilah yang diperkirakan menjadi asal muasal lahirnya kebijakan buku elektronik, indikasinya jelas subsidi BOS buku berkurang dari Rp. 22.000,-/siswa menjadi Rp. 11.000,/ siswa. Seperti diketahui, Pemerintah baru saja mengeluarkan Permendiknas No.2 Tahun 2008 tentang buku. Melalui permendiknas ini, Depdiknas akan membeli hak cipta dari penulis dan distribusinya berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Depdiknas. Setidaknya Depdiknas mengalokasikan dana sebesar 20 miliar untuk pembelian hak cipta sebanyak 295 jilid buku.

B. STUDI KASUS BUKU SEKOLAH ELEKTRONIK

KOMENTAR DARI BERBAGAI KALANGAN
Sepanjang kontroversi pengadaan buku sekolah elektronik, banyak komentar dan pandangan yang disampaikan oleh berbagai kalangan, mulai dari pemangku kebijakan, praktisi perbukuan, politisi, para pemerhati pendidikan, kalangan penerbit, konsumen pemakai buku, dan lain sebagainya. Tentu saja, komentar dan pandangan tersebut sangat bervariasi dan memiliki sisi pandang yang berbeda-beda. Untuk itu, kita perlu mendudukan berbagai pandangan tersebut secara proporsional. Berbagai pandangan tersebut akan coba dianalisis secara sederhana untuk menemukan akar persoalan secara mendasar. Berikut ini adalah berbagai pandangan tersebut.

1. Pandangan Mendiknas Bambang Sudibyo:
(Suara Karya, 29/8/2008)
”Program BSE (buku sekolah elektronik) itu tidak ada. Itu hanya nama website Depdiknas yang isinya buku-buku pelajaran yang hak ciptanya sudah dibeli pemerintah. Namun yang terjadi, pemerintah dikonyol-konyolkan karena banyak sekolah yang belum punya listrik tapi pemerintah sudah buat program BSE. Sekali lagi saya tegaskan, BSE itu program buku murah. Maksud utama pembuatan website itu bukan untuk murid, tapi perusahaan agar mencetak dan menjual buku dengan harga sepertiga dari harga buku teks di pasaran,” katanya.
Menurut dia, saat ini sudah ada perusahaan yang hendak mencetak BSE dengan harga jual seperti ditetapkan pemerintah. Harga yang ditetapkan pemerintah diperhitungkan tetap mampu memberi keuntungan bagi perusahaan yang bersedia mencetaknya. Harga itu mencakup biaya produksi, biaya distribusi, dan margin keuntungan 15 persen.
”Harga jualnya sekitar sepertiga dari harga buku teks di pasaran. Harga buku ini diharapkan tidak lagi membebani masyarakat. Buku itu bisa didapat di toko- toko buku, bukan dibeli di guru atau sekolah,” kata Mendiknas

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Penentu Kebijakan
Cakupan permasalahan: Pro kualitas buku, Pro distribusi, Pro daya beli masyarakat

2. Arief Rahman, 21/8/2008
(http://www.surya.co.id/web/Pendidikan/Polemik-Seputar-Buku-Sekolah-Elektronik-Ketar-Ketir-Jelang-UTS.html
Mengenai buku sekolah elektronik (BSE), Arief menilai perlu ada proses penyesuaian. Lebih baik tidak bereaksi menolak, namun lebih antisipatif. Permendiknas 2/2008 tentang BSE memang baik bagi sebagian orang. Tapi, belum untuk seluruh rakyat Indonesia.
BSE perlu waktu download dan tepat untuk daerah yang sudah disaluri listrik dan dilengkapi teknologi informasi dan komunikasi. Baru kemudian daerah-daerah minim mengikutinya. Sebelum itu terwujud, pelaksana pendidikan di daerah minim itu harus berkreasi dalam PBM.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati pendidikan
Cakupan permasalahan: Pro kualitas buku, netral distribusi, netral daya beli

3. Aria Bima, Anggota DPR (18/8/2008)
Kebijakan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), yang membeli hak cipta buku pelajaran dan melarang penjualan langsung buku pelajaran oleh penerbit ke sekolah serta meminta masyarakat atau pihak sekolah mengunduh buku elektronik yang telah dibeli hak ciptanya dari internet, sangat bersifat bias kota.
Artinya, kebijakan ini cenderung hanya realistis bagi masyarakat kota. "Itupun kelas menengah ke atas, yang sudah terbiasa mengakses dunia maya. Sedangkan bagi siswa, sekolah, atau guru miskin di pedesaan atau kota-kota kecil, kebijakan tersebut sangat menyulitkan, lantaran peranti komputer atau internet belum dapat mereka akses," katanya.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Politisi
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli

4. Iskandar Agung, Puslitjaknov Depdiknas:
(Suara Karya, 10/9/2008)
Pelaksanaan program e-book atau buku sekolah elektronik (BSE) harus ditunda dan tidak bisa dipaksakan. Karena, secara teknis, program ini belum siap dilaksanakan dan kebijakan ini membuat kepala sekolah pada posisi dilematis. Jika program ini terus dipaksakan untuk dilaksanakan, yang menjadi korban nantinya adalah orangtua murid, siswa, dan juga sekolah. Program BSE yang awalnya untuk menciptakan buku sekolah yang murah dan memiliki umur pakai hingga lima tahun itu pada kenyataannya justru buku itu menjadi lebih mahal karena belum tersedia secara luas dan umur pakainya juga lebih pendek, hanya berkisar dua tahun.
Untuk men-download (mengunduh) buku, diperlukan perangkat komputer dan internet. Kondisi ini belum termasuk mencetak atau menge-print buku yang akan diunduh, selanjutnya hasil printing tadi diperbanyak untuk siswa. Pada akhirnya, nilai ekonomis BSE itu justru lebih mahal dibandingkan dengan harga buku sebelumnya.
Demikian pernyataan yang terlontar dalam Seminar Pendidikan Nasional dalam rangka Hari Pendidikan Nasional di Jakarta beberapa hari lalu.
Menurut Iskandar Agung dari Pusat Penelitian Kebijakan dan Inovasi Pendidikan (Puslitjaknov) Depdiknas, yang menjadi salah satu pembicara dengan topik upaya pendistribusian buku murah, kenyataan itu tidak terbantahkan.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati pendidikan
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli, kontra masa pakai

5. ICW (Indonesian Corruption Watch):
Kebijakan buku sekolah elektronik (BSE) ini bisa dikatakan sebagai langkah mundur karena mengarah pada privatisasi pendidikan. Satu sisi, Penggunaan jaringan internet agar masyarakat dapat mengunduh secara gratis merupakan langkah maju. Tetapi disisi lain pemerintah tidak menyiapkan kapasitas sumber daya manusia maupun infrastruktur jaringan internet diseluruh indonesia.
Berdasarkan hasil investigasi Kelompok Independen Untuk Advokasi Buku (Kitab) di beberapa wilayah seperti Jakarta, Bekasi dan Depok menemukan jika banyak kepala sekolah yang belum paham tentang buku elektonik. Bahkan Fitri Sunarto berani menjamin kalau sampai saat ini belum ada satu pun sekolah dasar yang menggunakan buku sekolah elektronik.
Artinya BSE sepertinya hanya merupakan pensiasatan pemerintah untuk melepaskan tanggungjawab pendanaan disektor perbukuan. Kondisi ini tentu sangat mengkhawatirkan karena pendidikan akan semakin sulit dijangkau oleh semua lapisan masyarakat dan tentunya kontraproduktif dengan kebijakan penuntasan wajib belajar tahun 2009.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemerhati/LSM
Cakupan permasalahan: netral distribusi, kontra daya beli

6. Setia Dharma, Ketua Umum IKAPI:
Harga kertas dan pajak masih menjadi alasan penerbit terkait sulitnya menekan harga buku, terutama buku pelajaran sekolah. Penerbit berharap, pemerintah menyubsidi harga buku guna memperluas akses terhadap buku pelajaran, selain membuat buku digital.
Hal itu dikemukakan Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid, Selasa (15/7). Seperti diberitakan sebelumnya, orangtua kembali dibebani biaya buku pelajaran begitu memasuki tahun ajaran baru. Sebagai gambaran, di Jakarta, orangtua mengeluarkan dana sekitar Rp 200.000 hingga Rp 1.000.000 untuk buku pelajaran satu semester. Buku digital program Departemen Pendidikan Nasional belum disosialisasikan, apalagi dimanfaatkan oleh masyarakat.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: aspek produksi, regulasi

7. Cyprianus Aoer, Anggota DPR:
Anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI-P, Cyprianus Aoer, mengatakan, kebijakan buku sekolah elektronik mencerminkan ketidakadilan. ”Seolah-olah semua pendidikan seperti di Jakarta. Itu mengabaikan apa yang disebut pemerataan dan keadilan. Warga di daerah pedalaman tidak bisa mengakses internet,” ujar Cyprianus.
Pengguna internet di Indonesia saat baru sekitar 18 juta orang atau sekitar 5 persen dari jumlah penduduk. Adapun dari 72.000 desa di Indonesia, masih terdapat 38.000 desa yang belum tersambung dengan perangkat komunikasi dan informasi.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Politisi
Cakupan permasalahan: kontra distribusi, kontra daya beli

8. Firdaus Oemar, Ketua Pusat Buku Indonesia (12/11/2008)
(Kompas, 12/11/2008)
"Penjualan Buku murah ke daerah masih terkendala distribusi. Biaya distribusi untuk daerah di luar Pulau Jawa sangat tinggi, sehingga HET yang ditetapkan Depdiknas sulit dipenuhi.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

9. M. Muhadjir, Pelaksana Kepala Pusbuk (12/11/2008)
(Kompas, 12/11/2008)
Untuk menekan biaya distribusi, tidak selayaknya buku dicetak seluruhnya di pulau Jawa. Mestinya buku tersebut dicetak di luar pulau Jawa dengan dukungan pemerintah kabupaten/kota.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku kebijakan
Cakupan permasalahan: netral distibusi

10. Gatot Wahyudi, IKAPI Jateng (15/72008)
(Sinar Harapan, 16/11/7/2008; http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/15/sh08.html
Regulasi Menteri Pendidikan Nasional tentang buku elektronik yang dapat diakses melalui internet akan mengancam kelangsungan penerbit dan pada gilirannya juga akan mengancam ribuan buruh di sektor ini. Sekitar 70 perusahaan penerbit yang ada di wilayah kerja Ikatan Penerbit IKAPI Jawa Tengah telah beberapa bulan terakhir menghentikan produksi buku pelajaran sekolah, kata Gatot Wahyudi, Ketua Kompartemen Buku Pelajaran dan Umum IKAPI Jawa Tengah, kepada wartawan di Solo, Selasa (15/7)
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Kalangan penerbit
Cakupan permasalahan: aspek ekonomi dan tenaga kerja

11. Doni Irfan, Wakil Ketua IKAPI Sumut
(Waspada Online, 7/8/2008)
“..Pemerintah perlu menerapkan regulasi soal pencetakan dan penggandaan BSE untuk menghindari terjadinya monopoli perusahaan penerbit dari percetakan dari Pulau Jawa.

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Penerbit
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

12. Kadarisman, SE, M.Pd, Ka SubBid Data Perbukuan Pusbuk Depdiknas :
(Waspada Online, 7/8/2008)
“..buku sekolah elektronik (BSE) akan lebih murah harganya kalau dicetak secara massal. Karena itu dia menganjurkan agar proses pencetakan BSE dapat mengikutsertakan penerbit lokal. BSE memang bisa di-download oleh siapa saja tanpa perlu meminta izin. Namun harganya akan lebih murah kalau dapat dicetak sekaligus karena biaya produksinya lebih murah, katanya dalam Rapat Koordinasi Peningkatan Pemanfaatan Buku Pendidikan Dalam Rangka Sosialisasi BSE di Medan, Selasa (5/8)
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku Kebijakan
Cakupan permasalahan: pro distribusi, pro daya beli

13. Wildan, Siswa SMP Negeri di Jakarta
( http://www.hupelita.com/baca.php?id=53669)
Penyediaan buku elektronik yang disiapkan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) untuk siswa SD/SMP, SMA dan SMK belum bisa diakses secara maksimal.
Belum bisa, terkadang sulit, ujar Wildan, siswa SMP Negeri di Jakarta, kemarin.
Ia mengaku gembira dengan menyediaan buku pelajaran yang bisa diakses melalui internet atau istilahnya buku elektronik, namun faktanya justru masih sulit diakses siswa.
Karena itu, saya berharap agar Depdiknas memberikan jalan keluar terhadap persoalan ini, ujarnya.
Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Siswa (konsumen buku)
Cakupan permasalahan: kontra distribusi

14. Saefullah, Waka Dinas Dikdas Prov DKI Jakarta
( http://www.hupelita.com/baca.php?id=53669)
“...Karena banyaknya minat yang mengakses sehingga terkadang ditemui kendala, ujarnya. Menurut dia, mengingat tingginya minat masyarakat dalam mengakses website tersebut sehingga mengalami hambatan. Dalam upaya memberikan pelayanan kepada masyarakat yang cepat dan tepat serta baru dibidang pendidikan, Dinas Dikdas telah melakukan upload buku elektronik tersebut dan dapat dilihat pada website Dinas Pendidikan Dasar melalui www.dinasdikdasdki.go.id .

Analisis terhadap komentar:
Status komentator: Pemangku Kebijakan
Cakupan permasalahan: pro distribusi

Analisis Terhadap Respons & Komentar terhadap BSE:
Untuk melakukan analisis lebih mendalam terhadap kontroversi BSE, penulis mencoba memetakan berbagai pandangan sebagaimana telah diungkapkan diatas dalam bentuk matris masalah berikut:
NO Status Cakupan komentar Keterangan
1 Penentu Kebijakan Pro kualitas buku, Pro distribusi, Pro daya beli
2 Pemerhati Pro kualitas buku, netral distribusi, netral daya beli
3 Politis Kontra distribusi, kontra daya beli
4 Pemerhati Kontra distribusi, kontra daya beli, kontra masa pakai
5 Pemerhati LSM netral distribusi, kontra daya beli
6 Penerbit aspek regulasi, aspek produksi di luar batasan masalah
7 Politisi Kontra distribusi, kontra daya beli
8 Penerbit Kontra distribusi
9 Pemangku Kebijakan Netral distribusi
10 Penerbit aspek ekonomi, tenaga kerja di luar batasan cakupan masalah
11 Penerbit Kontra distribusi
12 Pemangku kebijakan Pro distribusi, pro daya beli
13 Siswa Kontra distribusi
14 Pemangku Kebijakan Pro distribusi

Lebih lanjut, berbagai pandangan tersebut dicoba dianalisis dengan bantuan matriks respon berikut yang dikelompokkan berdasarkan respon positif atau negatif terhadap salah satu komponen CIPP (Context, Input, Process, Product). Dalam hal ini penulis mencoba membatasi, yang dimaksud konteks dalam studi kasus ini adalah mencakup kondisi masyarakat, kondisi sekolah, perkembangan teknologi, dan lain sebagainya. Sementara yang dimaksud Input distribusi dan sosialisasi BSE. Adapun yang dimaksud proses adalah yang menyangkut informasi pelaksanaan BSE meliputi kekuatan dan kelemahan implementasi BSE. Sedangkan produk mencakup jumlah dan kualitas BSE. Berdasarkan batasan sementara ini, penulis mencoba memetakan berbagai pandangan tersebut di atas.

Matriks Analisis CIPP:
Context Input Process Product
Penentu Kebijakan + + + +
Pemerhati +- +- +-
Politis - - -
Pemerhati - - -
Pemerhati LSM - +- +-
Penerbit -
Politisi - - -
Penerbit -
Pemangku Kebijakan + - +
Penerbit - -
Penerbit - -
Pemangku kebijakan + +
Siswa + -
Pemangku Kebijakan + + +

Berdasarkan matriks CIPP di atas, terlihat keragaman pandangan para narasumber, dan sekaligus belum komprehensifnya berbagai pandangan tersebut.

Berdasarkan kedua matriks analisis di atas, terlihat bahwa berbagai pandangan yang dilontarkan oleh masing-masing pihak memiliki sisi pandang yang berbeda menyangkut cakupan permasalahan ataupun komponen program (konteks, input, proses dan produk). Hal ini dapat dimengerti karena pandangan-pandangan tersebut bersumber dari kutipan media massa yang seringkali meminta komentar secara parsial, dalam momen yang spesifik, dan memiliki tendensi publisitas. Terlebih, para komentator memiliki posisi dan status yang berbeda, sehingga dapat dipahami memiliki kepentingan yang juga tidak seragam. Untuk itu, analisis lebih lanjut tentang permasalahan ini sesungguhnya memerlukan pandangan yang lebih komprehensif dari masing-masing pihak. Namun demikian, dalam studi kasus ini penulis mencoba membatasi pada konteks permasalahan yang dan sumber sebagaimana telah dikutipkan di atas.
Pada dasarnya, BSE merupakan respons pemerintah terhadap perkembangan permasalahan perbukuan yang ada selama ini. Terlihat dari tabel analisis permasalahan di atas, respons Mendiknas mencerminkan pandangan yang lebih komprehensif, dan memang sudah seharusnya demikian, mencakup 3 permasalahan umum yang telah dibahas sebelumnya, yaitu mencakup kualitas buku, distribusi, daya beli. Sesungguhnya, meskipun tidak terungkap secara eksplisit pada komentar Mendiknas di atas, kebijakan BSE juga merupakan respons terhadap masalah keempat, yaitu masa pakai. Berkaitan dengan aspek kualitas buku, hal ini tercermin dari perbaikan terhadap sistem penilaian buku yang melibatkan BSNP, yang pada akhirnya ditunjukkan dengan mengeluarkan beberapa Permendiknas berisi buku-buku yang layak pakai dan dibeli hak ciptanya oleh pemerintah. Secara langsung, hal juga menguntungkan penulis buku yang biasanya dari kalangan guru, namun sedikit merepotkan kalangan, karena mengganggu jalur distribusi dan aspek distribusi buku sekolah yang berlangsung selama ini. Di samping itu, dengan mengeluarkan regulasi tentang pemakaian buku layak pakai, akan mendorong peningkatan kualitas isi buku sekolah. Tentu saja, hal ini tidak mudah dicapai dalam waktu singkat. Dalam hal ini, sesungguhnya pemerintah juga perlu mewaspadai sistem penilaian perbukuan yang telah berlangsung. Meskipun telah diupayakan perbaikan sistem dan mekanisme, namun dengan banyak jumlah dan jenis yang harus dinilai keyakannya, membuka peluang lemahnya jaminan mutu terhadap kualitas buku. Hal ini dapat disebabkan diantaranya oleh pola rekrutmen tim penilai buku, yang karena dibutuhkan dalam jumlah banyak, maka terjadi pelonggaran kriteria penilai buku, yang pada akhirnya juga dapat menyebabkan lemahnya penilaian buku itu sendiri.
Meningkatnya peran teknologi informasi dalam perbukuan, sesungguhnya merupakan keniscayaan yang cepat atau lambat harus terjadi. Sinyalemen tentang pentingnya buku elektronik sesungguhnya telah lama digaungkan. Tak kurang, pengamat dan akademisi semisal Onno W Purbo ataupun HAR Tilaar (2001) menegaskan pentingnya e-book sebagai bagian dari konsekuensi perkembangan teknologi. Dalam tulisannya berjudul Buku dalam Eera Maya Cyber Era), Tilaar menyarankan intervensi pemerintah untuk menggalakkan gerakan buku murah, dan pemasyarakatan buku elektronik. Hal ini akan mendorong lahirnya generasi baru (Next generation/N-gen) yang lebih kreatif dan interaktif. Secara khusus, hal ini juga akan mendorong para pendidikan untuk lebih terampil dalam penguasaan teknologi informasi.
Di sisi lain, terlihat pemerintah berupaya membangun mekanisme pengadaan dan pola distribusi yang baru, dengan memasukkan aspek bisnis informatik sebagai stakeholder baru dalam industri perbukuan. Dalam pandangan pemerintah, keterlibatan teknik informatika dalam dunia perbukuan akan dapat membantu masalah produksi maupun juga distribusi buku. Intervensi pemerintah dalam hal ini, meskipun intervensi bukan hal yang asing dan memang dibutuhkan, akan menciptakan relasi baru dalam mekanisme hubungan antar stakeholder perbukuan. Begitu pula akan mendorong keseimbangan baru antara berbagai penerbit yang selama ini terlihat ada kesenjangan antar penerbit besar dan kecil.
Dalam hal distribusi maupun daya beli, terdapat perbedaan cara pandang antara pemerintah selaku pemangku kebijakan dengan kalangan penerbit ataupun politisi. Perbedaan tersebut nampaknya terdapat pada penempatan BSE sebagai fungsi distribus buku. Pemerintah memandang BSE sebagai katalis, dan produk sementara yang akan mendorong harga buku yang lebih murah, dan pada akhirnya akan lebih mudah pula didistribusikan. Sementara kalangan politisi dan penerbit memandang BSE sebagai produk akhir distribusi. Perbedaan tersebut juga muncul dari perbedaan cara pandang terhadap perkembangan teknologi informasi itu sendiri. Dengan dukungan proram Depdiknas yang lain, yaitu pengadaan komputer dan jaringan internet di sekolah, maka program BSE menjadi menemukan relevansinya. Sementara kalangan politisi lebih memandang situasi riil saat ini di pelosok negeri yang masih tertinggal secara ekonomi maupun teknologi.
Berbagai pandangan yang dikonotasikan negatif ataupun kontra terhadap BSE dapat diposisikan sebagai kritik membangun yang diperlukan untuk menyempurnakan upaya mengatasi masalah perbukuan, terutama buku sekolah di Indonesia. Begitu pula, kebijakan BSE tidak dapat dapat berdiri sendiri, tapi harus diikuti oleh kebijakan lainnya yang langsung atau tidak langsung berhubungan dengan BSE. Kebijakan yang langsung berkaitan dengan BSE misalnya adalah peningkatan kualitas sistem penilaian buku, pengadaan jaringan komputer dan internet di sekolah, dan lain sebagainya. Sedangkan yang tidak berhubungan langsung dengan BSE misalnya regulasi tata niaga buku dan subsidi harga bahan baku kertas. Dalam hal ini, konsistensi pemerintah terhadap seluruh kebijakan secara komprehensif merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan.


KESIMPULAN
Pada dasarnya Buku Sekolah Elektronik merupakan terobosan positif yang perlu direspons secara proporsional. Kebijakan BSE ditujukan untuk mengatasi keempat permasalahan umum buku sekolah, meskipun dalam pelaksanaannya terdapat beberapa kelemahan. Diperlukan penyempurnaan dalam pelaksanaan BSE yang menyangkut peningkatan kualitas sistem penilaian buku, pemerataan sarana komputer dan jaringan internet, tata niaga buku sekolah, serta regulasi subsidi bahan baku kertas.



DAFTAR RUJUKAN

Supriyadi, Dedi. 2000. Anatomi Buku Sekolah di Indonesia: Problematik Penilaian, Penyebaran, dan Penggunaan Buku Pelajaran, Buku Bacaan dan Buku Sumber. Bandung: Adicita
Tilaar, HAR. 2001. Membenahi Pendidikan Nasional. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta